06 Maret 2010

Salah Kaprah Penggunaan Bahasa Indonesia

Bergandengan dan Saling Pukul

"Ia berjalan bergandengan tangan." Mengapa tidak ditulis: "Mereka berjalan bergandengan tangan?" Benar, jika ditulis, "Ia bergandengan tangan dengan pacarnya."
"Saling pukul-memukul." Tidakkah yang lebih cermat dan padat adalah pukul-memukul atau saling pukul?

Aktifitas atau Aktivitas?

Dua cara penulisan ini sering kita temukan. Mana yang benar? Kata itu diserap dari bahasa Inggris "activity" atau, dulu, kata Belanda, "activiteit".
Kita perlu mengganti huruf jika bunyi yang dilambangkannya membedakan makna dalam bahasa Indonesia. Huruf c pada kata asingnya ditukar dengan k karena melambangkan bunyi yang berbeda.
Bagaimana dengan v? Tidak perlu karena bunyi yang dilambangkannya dalam bahasa Indonesia tidak membedakan makna.
Jadi, yang benar aktivitas. (Catatan: akhiran -(i)tas dari bahasa Latin dipilih karena pada waktu itu orang tidak menghendaki penyesuaian akhiran Inggris atau Belanda.)
Mengapa kita menulis aktif, bukan aktiv? Karena, huruf v tidak kita gunakan di akhir kata umum dalam bahasa Indonesia.
Jadi, "active" kita serap menjadi aktif. Huruf v di tengah kata tidak diubah. Contoh lain, produktif-produktivitas, agresif-agresivitas, positif-positivisme, dan motif-motivasi.

Standarisasi Atau Standardisasi?

Kasus ini mirip dengan aktifitas dan aktivitas. Kata asing "standard" kita serap dengan menghilangkan huruf d karena bunyi yang dilambangkan cenderung tidak diucapkan dalam bahasa Indonesia. Jadi, yang benar adalah standar.
Kata "standardisation" (Inggris) atau "standardisatie" (Belanda) kita serap menjadi standardisasi. Mengapa huruf d dipertahankan?
Bunyi d dapat kita lafalkan sehingga secara keseluruhan lafal dan tulisan standardisasi lebih dekat dengan lafal dan tulisan kata asingnya walau di sana-sini sudah ada penyesuaian.
Baik dicatat, dalam hal menyesuaikan tulisan dan lafal kata serapan, apa yang bisa dipertahankan sebaiknya tidak diubah sehingga dapat lebih dekat dengan bentuk aslinya. Hal itu memudahkan penelusuran asal-usul kata.

Ganti Untung

Baru-baru ini ada berita tentang lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Sebuah stasiun televisi mengatakan bahwa korban lumpur Lapindo menuntut agar ganti untung segera dicairkan.
Apa itu ganti untung?
Istilah yang lazim kita dengar dan juga kita gunakan adalah ganti rugi. Dalam tata bahasa, ganti rugi disebut kata majemuk. Ada bentuk-bentuk kata majemuk serupa itu, misalnya meja tulis.
Yang dimaksud meja tulis adalah meja untuk menulis. Buku gambar adalah buku untuk menggambar. Anak angkat artinya orang (biasanya berusia muda) yang tidak bertalian darah, yang diangkat menjadi anak sendiri. Contoh lain adalah cetak ulang, yang artinya pencetakan ulang.
Pada contoh-contoh itu terlihat ada pemendekan bentuk. Menulis menjadi tulis, menggambar menjadi gambar, diangkat menjadi angkat, dan pencetakan menjadi cetak. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada kata ganti rugi, hasil pemendekan dari penggantian kerugian atau sekurang-kurangnya dari ganti kerugian.
Jadi, apa yang dimaksud dengan ganti untung pada berita itu? Dengan analogi tersebut, ganti untung dapat ditafsirkan sebagai penggantian keuntungan atau ganti keuntungan. Hal ini tentu saja tidak masuk akal. ("Keuntungan kok diganti!").
Konon yang menciptakan istilah itu bermaksud agar korban seperti warga Porong itu mendapat penggantian yang menguntungkan, bukan yang merugikan. Dengan mengubah ungkapan ganti rugi menjadi ganti untung diharapkan kompensasi yang dimaksudkan menguntungkan pihak korban.
Terlepas dari niat baik penulis berita, pengubahan istilah itu jelas mengacaukan makna. Di samping itu, kalau korban manjadi untung, bukankah lalu ada pihak yang merugi? Nah, kalau pihak yang merugi itu adalah pihak yang harus menyediakan dana penggantian, pantas saja kalau mereka menunda-nunda atau enggan melaksanakan. Singkat kata, meniru gaya Tukul, kembali ke ganti rugi!

Akibat yang Mengakibatkan

Coba perhatikan kutipan ini. "Akibat kebakaran itu mengakibatkan pedagang kehilangan tempat usaha." Hah!
Hati-hati menyusun kalimat yang mengandung hubungan kausalitas.

Sebetulnya ada cara yang sederhana. Gunakan saja kata hubungan, seperti sebab, karena, akibat, sehingga, dan boleh juga maka, misalnya begini:
1. Persidangan itu ditunda sebab hakimnya sakit;
2. Pertandingan terpaksa dihentikan karena hujan deras;
3. Akibat perbuatannya itu, ia dihukum dua tahun penjara; atau
4. Kasus itu sudah diputuskan secara adil, maka demo tidak perlu lagi.

Kata sebab dan akibat juga bisa menjadi dasar kata kerja mengakibatkan dan menyebabkan. Keduanya kurang lebih berarti sama. Contohnya seperti ini.
1. Angin puting beliung itu mengakibatkan kerusakan di desa Sukoharjo, Sleman, Yogyakarta.
2. Kebijakan pemerintah menyebabkan pelaksanaan pemerintahan terus-menerus dipantau dan dikritik rakyat.

Lalu bagaimana dengan kalimat yang dikutip tadi? Kacau alias rancu! Sebaiknya kalimat itu berbunyi: "Akibat kebakaran itu para pedagang kehilangan tempat usaha," atau, "Kebakaran itu menyebabkan pedagang kehilangan tempat usaha."

Menurut Siapa Mengatakan Apa

Ditemukan kalimat seperti ini. "Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal."
Kalau kita analisis, mana subjek kalimat itu? Seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia?
Memang, bagian itulah yang menjadi pokok untuk kata kerja mengatakan. Namun, kalau itu subjeknya, mengapa didahului kata menurut?
Apakah kita dapat mengatakan kalimat yang lebih sederhana ini: "Menurut dia mengatakan begitu?" Aneh, bukan?
Pemecahan sederhana: buang saja kata menurut sehingga kalimat itu menjadi: "Seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa harga demokrasi memang dapat dianggap mahal."

Bagaimana jika kita ingin menggunakan kata menurut? Karena kata itu mengawali bagian yang disebut keterangan, jangan lupakan kalimat induknya. Inilah perbaikannya: "Menurut seorang pakar sosiologi Universitas Indonesia, harga demokrasi memang dapat dianggap mahal."

Jumlah Korban Yang Meninggal Berjumlah Enam Orang

Menyusun kalimat perlu cermat. Biasanya, kalimat yang ringkas lebih mudah dipahami informasinya.
Kalimat yang jelas informasinya adalah kalimat yang efektif. Itulah sebabnya, para penulis ulung sering memberi nasihat para pemula untuk membuat tulisan dengan kalimat-kalimat pendek.
Kalimat yang singkat dan padat tidak memuat kata yang tidak diperlukan.
Kata yang berlebihan dapat mengaburkan pokok masalah. Oleh sebab itu, hindari unsur kalimat yang memiliki fungsi yang sama.

Mari kita simak kutipan yang menjadi judul tulisan ini.
Mungkin dengan mudah masalahnya kita temukan, yakni pemakaian kata jumlah dan berjumlah. Aneh sekali jika kita mengatakan bahwa jumlah anu berjumlah sekian.
Kalimat aslinya sebenarnya jauh lebih panjang sehingga kejanggalan itu tidak disadari pembuatnya: jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang.
Jika memang perlu membuat kalimat panjang, jangan lupakan kecermatan. Kalimat tadi dapat diperbaiki dengan mengubahnya sebagai berikut.
- Korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu berjumlah 356 orang.
- Dapat juga dipertimbangkan pengubahannya menjadi seperti kalimat di bawah ini.
- Jumlah korban yang ditemukan meninggal dalam kecelakaan kapal penumpang itu mencapai 356 orang.

Dikutip dari: BIDARA Program Budaya 93,4 FM RRI Denpasar
Rabu (13/6) Pukul 18.15 Wita
Topik: "Sopan Santun Berbahasa"
Narasumber: Drs. I Nengah Sukartha, S.U.

1 komentar:

  1. Terimakasih pak Masnur.Kita menyadari bahwa pemakaian bahasa Indonesia secara formal terutama dalam menulis merupakan sesuatu yang terkadang salah, baik oleh akademisi terlebih-lebih lagi bagi orang-orang yang kurang berpendidikan.mudah-mudahan kesalahan-kesalahan tersebut dapat diminimalisir dengan ulasan-ulasan pak Masnur

    BalasHapus