04 Maret 2010

JARGON POLITIK

Di mana akronim-akronim lahir?
Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang muda dan rupanya orang-orang yang mengunakan bahasa Indonesia suka sekali mengubah dan mengadakan eksperimen bahasa ini. Bahasa Indonesia terkenal berisi banyak akronim dan singkatan, yang digunakan sehari-hari. Kebanyakan orang tahu artinya akronim-akronim itu, dan tersebar luas di seluruh Indonesia. Bisa dilihat di dalam koran, plakat besar, dan dilihat dari televisi. Ada banyak akronim resmi dari media massa dan dimengerti oleh masyarat luas, itu hanya karena kebiasaan sehari-hari.
Dengan membuka koran saja, banyak akronim bisa dilihat. Bukan kata politik saja, tetapi juga dari bidang olah raga dan bisnis. Kebanyakan kata ini menurut editor sudah diketahui oleh banyak orang, tetapi kadang-kadang ada juga yang memerlukan keterangan.
Baru-baru ini, terbit di The Manila Times, terdapat artikel tentang adanya akronim-akronim dalam bahasa Indonesia yang berlebihan. Semakin lama, semakin banyak akronim-akronim dan singkatan dikenalkan di dalam bahasa; dan semakin susah untuk orang-orang asing mengerti dan orang Indonesia sendiripun banyak yang tidak mengerti istilah-istilah tersebut. (Suwastoyo August 31, 2004).
Menurut Pak Arjun yang ahli bahasa, pebedaan di antara akronim dan singkatan adalah bahwa akronim bisa dibaca sebagai kata, misalnya ‘polri’. Akronim adalah jenus singkatan, tetapi kebanyakan singkatan adalah dilafalkan sebagai setiap huruf, misalnya ES-BE-YE untuk SBY.
Bahwa ada banyak singkatan dalam Bahasa Indonesia tidak perlu menjadi masalah karena kebanyakan orang sudah tahu artinya. Tetapi setiap bidang mempunyai singkatan sendiri, misalnya militer, mahasiswa, binis dan lain-lain. Mungkin ada masalah untuk seseorang yang di luar bidang ini karena mereka belum tentu memahaminya.
Beberapa contoh akronim-akronim dan singkatan adalah sebagai berikut:
Bidang Politik
• SBY = Susilo Bambang Yudoyono
• PNS = Pegawai Negeri Sipil
• HAM = Hak Asasi Manusia
• DPR = Dewan Pewakilan Rakyat
• GolKar = Golongan Karya
• Pilkadal = Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Bidang Pendidikan
• DPC = Dewan Pimpihan Cabang
• PTN = Perguruan Tinggi Negeri
• PTS = Perguruan Tinggi Swasta
• OrMah = Organisasi Mahasiswa
• UKM = Unit Kegiatan Mahasiswa
Bidang Bisnis dan Eknomik
• BNI = Bank Nasional Indonesia
• BPK = Badan Pemeriksa Keuangan
• Kadin = Kamar Dagang dan Industri
• REI = Real Estate Indonesia
Bidang Olah raga
• KONI = Komite Olah raga Nasional Indonesia
• Arema = Arek Malang
• PSSI = Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia
• PBSI = Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia
Bidang Militeris dan Polisi
• TNI = Tentara Nasional Indonesia
• Polri = Polisi Republik Indonesia
• Kodam = Komando Daerah Militer
Menurut Manila Times, acara televisi dan dinas pemerintah di Indonesia melakukan kesalahan dalam membuat dan menyebarkan singkatan baru.
Mengapa Orang Indonesia suka sekali membuat akronim-akronim? Dalam pendapat Pak Arjan itu untuk alasan yang sama, karena berkaitan dengan kemudahan, dan lebih cepat untuk berbicara dan ditulis. Kata panjang dalam Bahasa Indonesia merupakan dorongan munculnya akronim. Media massa suka sekali singkatan-singkatan untuk alasan ini, dan kata baru disebarkan dengan bantuan media massa.
Sampai tingkat tertentu, semua bahasa-bahasa di dunia mengunakan singkatan dan akronim, tetapi pasti di Indonesia itu lebih biasa. Menurut artikel dalam Manila Times, masalah tertinggi adalah tidak ada peraturan nasional untuk mematuhi kalau membuat singkatan atau akronim yang baru. Akibatnya, ada orang yang kuatir bahwa bahasa Indonesia mungkin memburuk dalam ‘padan lisan pesan sms hand phone’ sebab banyak akronim ini (Suwastoyo 2004).

Akronim-akronim resmi
Tidak hanya televisi yang membuat kata-kata baru, tetapi juga banyak akronim dibuat oleh pemerintah, terutama pada masa menjelang pemilu. Selama masa kampanye pemilu, ada banyak contoh akronim-akronim politik yang digunakan calon-calon berkali-kali.
Alasan bahwa politikus berbicara dalam semboyan adalah karena lebih mudah dibandingkan dengan menggunakan kalimat lengkap. Singkatan-singkatan lebih pendek dan sederhana, semboyan-semboyan lebih efektif dan ekonomi.
Banyak semboyan dipakai terlalu sering dan menjadi klise. Dalam buku program untuk calon presiden tahun ini, ada kata tertentu yang muncul berkali-kali (Narwanto 2004). Misalnya kata yang selalu diberbicarakan oleh calon-calon adalah KKN (Kolusi, Korrupsi dan Nepotisme). Pasangan calon utama selama kampanye yang lalu, berjanji membuat kabinet ‘bebas KKN’. Mereka juga berjanji membantu HAM (Hak Asasi Manusia). Hal yang terpenting adalah pemilu yang Jurdil (Jujur dan Adil). Kata-kata ini sudah menjadi kata yang semua orang tahu dan populer. Karena itu, rupanya politikus-politikus hampir tidak harus memikir tentang jawabannya sebelum mereka berkata sesuatu, mereka mengunakan singkatan ini. Akibatnya, singkatan-singkatan ini hilang artinya, seperti semua klise, dan menjadi kata kosong yang orang-orang tidak percaya lagi.
Pokok yang terpenting adalah bahwa kata-kata ini, terutama singkatan politik, dibuat pemerintah dan ditujukan kepada masyarakat lewat media massa. Kata-kata ini tidak dibuat oleh masyarakat sendiri, jadi orang biasa tidak merasa senang.

Bahasa politik
Selama pemilu presiden baru-baru ini, yang dipanggil pilpres (pemilihan presiden), bahasa politik lebih tajam, karena pasangan calon ingin menyakinkan masyarakat mengenai kebaikannya. Bahasa sangat penting sebagai alat untuk memberitahukan kebijaksanaannya dan menyakinkan rakyat memberikan suaranya. Ada bahasa politik yang berbeda dengan bahasa sehari-hari; politikus-politkus mengunakan semboyan-semboyan dan kata klise dalam menyampaikan maksudnya. Selama waktu kampanye, banyak jargon digunakan, seperti singkatan yang klise tersebut, dan sering kalau jargon digunakan, isu-isu yang benar tidak dibahas. Rupanya semua partai memfokuskan tentang isu-isu yang sama, seperti korupsi dan hak asasi manusia, tanpa menjelaskan solusi untuk isu-isu ini. Memang, pemilu presiden baru, banyak orang mengkomentari dalam koran bahwa debat umum dangkal sekali, dan calon-calon tidak memfokuskan kebijaksanaannya tetapi malahan pemilu ini menunjukkan pasangan calon yang mana yang lebih kuat atau siapa yang mempunyai penampilan lebih baik.
Bahasa politik tidak sekedar memberitahukan kebijaksanaan, tetapi lebih lagi. Setiap orang perlu mengerti arti lain yang disembunyikan dalam katanya. Karena tidak ada sesuatu yang berkata tanpa alasan bagus, dan setiap politikus tahu bagaimana mengatakan kata-kata kosong sambil mewujudkan kesannya yang baik. Banyak orang tidak percaya politikus-politikus karena masyarakat tahu bagaimana politikus-politikus pandai bersilat lidah dengan mengunakan bahasa.
Bahasa politik adalah diawasi lewat pidato dan jawaban yang sudah siapkan. Seorang responden dosen berkata, ‘Tidak ada kata dibicarakan tanpa memikirkan akibatnya. Mereka bersembunyi di belakang bahasanya dan tidak mengatakan hal yang merugikan’. Alasan ini karena bahasa adalah kuat sekali. Politikus mengunakan bahasa supaya menciptakan kesannya, dan kesan ini adalah aspek yang terpaling hidupnya umum. Kalau mereka memberi jawaban yang salah kepada pertanyaan wartawan, mereka mungkin menyakitkan hati orang lain, dan menyebabkan perdebatan umum dan karirnya akan rusak. Karena itu, politikus tahu bagaimana mengelak dari pertanyaan yang susah.
Dalam penelitian saya, ada petunjuk bahwa kebanyakan orang tidak percaya janji-janji dari pemerintah, terutama pemerintah baru yang terpilih. Mereka tidak percaya bahwa politikus-politikus bisa menghentikan korupsi atau bahwa mereka akan berkerja untuk kepentingan rakyat. Seperti bunyi peribahasa: “Siapapun yang menjadi presiden, saya tetap miskin’. Dan juga ‘Besok berubah lagi’.
Walaupun, menurut beberapa aktivis, ada banyak orang dalam kaum buruh yang percaya janji presiden, yang adalah kontradiksi karena mereka yang sering menghilangkan banyak kebijaksanaan dari pemerintah konservatif. Sementara itu orang di kelas menengah, yang sudah terdidik tentang pemerintah, tidak percaya politikus tetapi mendapat keuntungan yang lebih dari mereka.
Kebanyakan orang diwawancarai saya juga setuju bahwa ada kelompok-kelompok di masyarakat yang dikesampingkan oleh politikus-politikus atau media massa. Kelompok-kelompok ini termasuk orang miskin, perempuan dan petani. Kolompok yang tidak kaya atau tidak mempunyai kekuasaan dan oleh karena itu lebih mudah untuk diabaikan.
Menarik bahwa beberapa orang berpikir ada terlalu banyak singkatan dalam bahasa Indonesia, sambil orang yang lain tidak menganggap masalah ini. Singkatan yang termasuk bidang politik adalah jargon politik, kata yang mungkin tidak dimengerti oleh semua orang dalam masyarakat. Kalau seorang membaca koran atau menonton berita televisi, mereka pasti belajar kata-kata ini. Tetapi ada orang-orang yang tidak membaca koran atau menonton televisi, mereka tidak akan mengerti dan akibatnya tidak bisa mewahaminya. Bahasa politik biasanya diawasi dengan teliti tetapi selalu terjadi kemungkinan kesalahan. Ini kadang-kadang terjadi kalau politikus-politikus harus berbicara tanpa naskah yang disiapkan terlebih dahulu.
Walaupun bahasa adalah penting dalam bidang politik, itu tidak selalu berhasil memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Alasan itu mungkin karena bahasa politik terlalu jauh dari bahasa sehari-hari.
Jargon politik mempengaruhi wacana politik, karena orang yang ingin mengambil bagian dalam debat umum, pasti harus tahu bagaimana mengunakan bahasa yang cocok.
Dikutip dari: "Bahasa dan Politik: Wacana Politik dan Plesetan", oleh Melanie Barnes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar