03 Maret 2010

MENYELAMI ANALISIS WACANA MELALUI PARADIGMA KRITIS

OLEH: Amir Purba
(Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU )

Jargon paradigma dalam ilmu sosial didefinisikan sebagai keyakinan dasar peneliti secara ontologi, metodologi, dan epistemologi. Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental. Paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya peneliti melakukan risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak ukuran kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk melalui pendekatan analisis wacana.

Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada serangkaian proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal sehat.

Nah, disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan bersinggungan dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi yang memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan bagaimana hubungan antara peneliti—yang mencari tahu—dengan orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau metode untuk meneliti.

Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis wacana, yaitu positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan kritis. (Hikam, A.S., dalam, Latif, Y. dan Ibrahim, I.S. [ed.], [1996]). Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian bersama.

Kedua, konstruktivisme. Menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa. Menempatkan subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan kontrol terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana. Ketiga, kritis. Di sini, analisis wacana menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat.

Sedangkan dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak dipahami sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana digunakan untuk menguraikan segala sesuatu yang ada di dalam setiap proses bahasa.

Analisis wacana di dalam ilmu komunikasi bersumber dari pemikiran Marxis Kritis. (Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and Denis K. Davis, 2000). Ada tiga aliran pemikiran yang termasuk ke dalam kategori ini, yaitu: (1). Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (2). Studi Budaya (Cultural Studies); (3). Studi Wanita (Feminist Study). ( Stephen W. Littlejohn, 2002).

Sementara itu, McQuail, yang menitikberatkan perhatiannya kepada pemikiran Marxis secara keseluruhan, mengajukan lima cabang teori yang berkembang di dalamnya yaitu: (1). Teori Marxis Klasik (Classical Marxism); (2) Teori Ekonomi Politik Media (Political Economic Media Theory); (3) Teori Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (4) Teori Hegemoni (Hegemonic Theory); (5) Teori Pendekatan Sosial-Budaya (Sociocultural Approach), biasa disebut Studi budaya (Cultural Studies). (Denis, McQuail, (1994).

Wacana di dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang mendalam. Menurut Norman Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari sudut pandang tertentu. Fiske, wacana harus diartikan sebagai suatu pernyataan atau ungkapan yang lebih dari satu ayat; W. O’Bar, wacana merupakan penyampaian ide-ide dari seseorang kepada yang lainnya. (Stephen Harold Riggins, 1997); Eriyanto (2001), wacana berkaitan erat dengan kegiatan komunikasi, yang substansinya tidak terlepas dari kata, bahasa, atau ayat. Dalam (Sobur Alex, 2001), wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.

Jadi, wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.

Teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse) Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media “tidak netral” sewaktu mengkonstruksi realitas sosial.

Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam menafsirkan realitas sosial. Mereka memilihnya untuk menentukan aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan, menentukan struktur berita yang sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti, bagian mana dari peristiwa yang didahulukan atau dilupakan serta bagian mana dari peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan; siapakah yang diwawancarai untuk menjadi sumber berita, dan lain-lain. Berita bukanlah representasi dari peristiwa semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai lembaga media yang membuatnya. (Gaye Tuchman, 1978).

Intinya, pandangan analisis wacana kritis memandang bahwa media harus ditempatkan sebagai ruang atau forum publik (public forum) yang bebas. (Stuart Hall, dalam, Stanley J. Baran and Denis K. Davis, [2000]) Di dalam forum tersebut setiap unsur masyarakat berkompetisi untuk mewacanakan simbol-simbol yang merepresentasikan ideologi mereka masing-masing.

Di dalam kompetisi tersebut, sekalipun kelas dominan memiliki kelebihan-kelebihan, namun selalu saja ada kelas yang bekerja keras untuk mengimbanginya. Di sisi lain, media ternyata bukan lembaga yang netral. Masukan pemikiran dari aliran kritis ini pada dasarnya memipikan sebuah lingkungan bebas tanpa pretensi untuk semua pihak yang berkepentingan dengan media massa.

(Dikutip dari rubrik Riset, Dictum edisi Perdana, April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar