03 Maret 2010

WACANA DALAM PERSPEKTIF FOUCAULT

Dalam konsep Foucault, persoalan utama wacana adalah siapa yang memproduksi wacana dan efek apa yang muncul dari produksi wacana tersebut. Dengan kata lain, setiap produksi wacana selalu ada efek yang terpinggirkan.

Wacana tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga empengaruhi cara berpikir atau bertindak.

Tesis yang menarik dari Foucault adalah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa didefinisikan dalam istilah “kepemilikan” dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa tidak hanya dimiliki tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup di mana ada banyak proposisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, menjelang Kampanye Pilpres Juni 2009, Jusuf Kalla menyatakan kalau dirinya adalah calon presiden yang memiliki slogan “lebih cepat lebih baik”. Makna yang tertangkap dari pernyataan itu bukan hanya sekedar teks dari Jusuf Kallakala yang dimuat berbagai media massa. Namun, merupakan ekspresi pengetahuan masa lalu,–ia pernah menjadi Wapres dengan berbagai prestasi seperti memperdamaikan konfliks di Aceh, Maluku, Poso, menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk si miskin, melakukan kebijakan kenaikan BBM dan Impor beras yang dikritik oleh masyarakat—yang sesungguhnya mau mengatakan bahwa semasa menjabat Wapres ia berprestasi, walaupun tidak didukung oleh Golkar dan hanya berkoalisi dengan partai kecil (Demokrat) yang hanya memperoleh suara 7,5%. Pengetahuan masa lalu itu merupakan sebah kuasa yang sebetulnya hanya wacana yang digunakan untuk menyerang SBY, yang peragu, kurang cepat, kurang berpihak pada rakyat kecil dan lebih pro kapitalisme dan pasar. Sebaliknya, SBY dalam berbagai media, di Puri Cikeas menyatakan bahwa Cawapres jangan merasa paling hebat, apalagi mengatakan kalau paling baik, itu namanya sombong dan tidak dikehendaki Allah SWT. Wacana yang muncul dibalik kekuasaan SBY, bahwa ia itu presiden terpilih 2004 dan sedang berkuasa, dan “masak dia tidak bisa berbuat apa-apa?”.

Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja erdapat susunan, aturan-aturan, sisem-sistem regulasi di mana saja aa manusia yang mempnyai hubungan tertentu satu sama lain dengan dengan dunia, di situ kuasa sedang berkerja. Hubungan-hubungan itu seperti hubungan sosial-ekonomi, hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahua, dll. Setiap masyarakat mengenal bebeapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran “wacana” yang dianggap kebenaran. Ada instansi yang menjamin perbedaaan antara benar dan tik benar. Ada erbagai prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran. (Tugas: bandingkan “kebenaran” yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Para Pengacara Antasari Azar terhadap kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur Putra Rajawali Banjaran)

Kekuasaaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan menurut Foucault selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada di dalam relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuesi bahwa untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandsi kekuaaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu menimbulkan efek kuasa. (Tugas: sebutkan lembaga-lembaga pengeahuan di Indonesia yang mampu memproduksi efek kuasa dan beri contoh kasusnya).

Kuasa tidak berkerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang bekuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi atau menidas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif, tidak berkeja secara negatif dan represif, melainkan secara positif dan produktif. Kuasa memprodusir realitas , memprodusir lingkup-lingkup objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik lewat disiplin. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Kekuasaan disalurkan melalui hubungan sossial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik-buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. (Tugas: mengapa dalam banyak hal banyak regulasi yang dilakukan tidak berhasil dilaksanakan masyarakat seperti merokok di tempat umum, berkendara di jalan dengan baik, memarkir kendaraan dengan benar, memelihara fasilitas umum, atau peraturan moral seperti mengutamakan orang yang sudah tua atau yang sedang hamil besar untuk duduk di kendaraaan umum, budaya mengantri, tidak menyela pembicaraan, dll. Sebukan berbagai ”wacana” peraturan dan perundangan yang kurang memberi efek kuasa.

Produksi Wacana

Produksi wacana berkait bagaimana terbentuknya bangunan wacana. Produksi wacana selalu berkaitan dengan realitas. Realitas tidak bisa didefinisikan jika tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. (Contoh: Peristiwa G30S/PKI, Penembakan Misterius 1980-an, Peristiwa Tanjung Priok, Anarki dalam Reformasi 1998, benar menurut wacana yang berkebang. Perspektif kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa ini benar dan yang lain tidak.

Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali dalam kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, kita mengkategorikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk (Tugas: bandingkan struktur berpikir Orde Lama (Soekarno) dan Orde baru Soeharto atau orde Normalisasi

Wacana Terpinggirkan

Dalam studi mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila dan tidak gila, sehat dan sakit, benar dan salah, bukanlah konsep yang abstrak datang dari langit dan dilestarikan seperti ilmu psikiatri, kedokteran, dan ilmu pengetahuan lainnya, tetapi juga oleh kekuasaan.

Akibat kekuasaan wacana ini, muncul wacana dominan dan wacana yang “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged). Misalnya: Calon presiden Indonesia harus Islam dan Jawa. Adalah wacana dominan sedangkan wacana terpinggirkan bahwa Indonesia itu dibentuk bukan karena agama dan etnis (Sumpah pemuda 1928).

Proses dominasi maupun marginalisasi wacana ini memiliki konsekuensi. Proses dominasi maupun marginaslisasi harus melihat realitas terberitakan. Sedangkan proses marginalisasi membawa implikasi (1) kalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa, (2) bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Seringkali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan, dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu. Contoh Rasialisme terjadi karena ideologi kulit hitam yang kasar, malas, kriminal, dan suka mabuk. Dominasi laki-laki karena menggangp perempuan itu sebagai subordinasi laki-laki. (Tugas: carilah wacana-wacana dominan dan terpinggirkan dalam masyarakat).
Diadopsi dari tulisan Suroso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar