22 September 2009

Pengembangan Model Bacaan Anak Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal

Oleh:
Drs. Masnur Muslich, M.Si
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Prawacana
Pemunculan topik ini dipicu oleh kenyataan bahwa bacaan anak yang saat ini beredar didominasi oleh bacaan terjemahaan baik berupa novel maupun komik yang bersumber dari budaya asing. Buku-buku komik Crayon Shinchan, Yu Gi Oh!, Detektif Conan Special, New Kung Fu Boy, Samurai Deeper Kyo, Naruto, Baby Love, Gals, atau Cerita Spesial Doraemon selalu menjadi pilihan untuk dibeli anak. Selain buku komik Jepang tersebut, seri terjemahan dari Walt Disney juga menguasai pasaran. Merebaklah tuduhan bahwa bacaan-bacaan tersebut telah memelintir anak-anak bangsa hingga hanya memiliki segelintir nilai-nilai universal yang canggung dan kehilangan akar budayanya patut direnungkan. Di mana buku bacaan anak karya pengarang dalam negeri yang bersumber dari akar budaya sendiri yang menarik anak? Pada sisi lain, informasi dan acara yang ditayangkan media televisi lebih mengarah ke ”etika informasi bebas’ sehingga masyarakat (khususnya anak-anak) selalu disuguhi adegan kekerasan, perampokan, tabrak lari, pornografi, dan sebagainya yang pada dasarnya kurang mencerminkan, bahkan berseberangan dengan, nilai-nilai budaya bangsa dan kearifan lokal yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia.
Untuk menganntisipasinya, anak perlu diberikan sarana bacaan yang sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini dianutnya, yaitu nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di lingkungannya. Ke depan, apabila nilai-nilai lokal tersebut tertanam pada diri anak, akan tercipta apresiasi yang tinggi terhadap kearifan lokal, yang sekaligus dapat membentengi pengaruh budaya global yang berseberangan dengan budaya lokal. Upaya ini didasari oleh asumsi bahwa (1) buku mencerminkan dan menyeberangkan ide, impresi, sikap, dan citra tertentu, (2) bacaan anak (baca:sastra anak) mengomunikasikan informasi, sikap, nilai yang disetujui orang-orang dewasa lewat penulisannya, (3) citra dan nilai dalam bacaan anak membentuk konsep mengenai perilaku budaya tertentu.
Untuk memenuhi tujuan ini, penulis tengah mengadakan penelitian tentang pengembangan model bacaan anak berbasis kearifan lokal. Penelitian ini diharapkan memperoleh seperangkat panduan penyusunan bacaan berbasis kearifan lokal yang cocok bagi anak dan seperangkat bacaan anak yang mewakili nilai-nilai kearifan lokal. Dengan menggunakan desain penelitian kualitatif dan desain penelitian pengembangan, hasil penelitian ini diharapkan memiliki implikasi praktis dan teoretis. Hasil yang berupa panduan penyusunan bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai panduan penyusunan buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal bagi penulis buku bacaan anak. Prototipe model bacaan yang dihasilkan penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan acuan bagi siapa saja (khususnya penulis buku bacaan anak) ketika bermaksud menyusun buku bacaan yang berorientasi pada kearifan lokal. Buku bacaan yang dihasilkan penelitian ini pun dapat dipakai sebagai alternatif bahan pembelajaran terkait dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat oleh guru mata pelajaran PKn, IPS, atau Agama.

Buku Bacaan Anak sebagai Kebutuhan
Pertumbuhan dan perkembangan anak dikatakan sempurna apabila sehat fisik dan mental. Untuk memenuhi sehat fisik diperlukan makanan yang bergizi pada menu makanan sehari-hari. Sementara itu, untuk memenuhi sehat mental pun diperlukan “makanan yang bergizi” pula. Tetapi, fenomena yang saat ini terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, mental anak sering disuguhi “makanan yang kurang bergizi’ bahkan sering disuguhi “racun”. Perilaku kekerasan, pencurian, kasus korupsi, pornografi yang jelas-jelas tidak bernilai pendidikan dan kemanusiaan selalu diberitakan media masa dan menjadi santapan mental anak setiap saat. Buku-buku bacaan yang menarik bagi anak pun kurang bahkan tidak mencerminkan budaya mereka. Lihat saja, ada berapa ribu jilid buku bacaan anak terjemahan dari budaya asing yang dikerubuti anak di setiap toko buku dan laris manis. Bahkan, banyak anak kita yang sudah kecanduan buku-buku bacaan berseri hasil terjemahan dari penulis asing. Padahal, idealnya, mental dan pikiran anak dalam keseharian mesti disuguhi “makanan bergizi”. Dalam konteks ini adalah buku bacaan yang bernilai pendidikan dan kemanusiaan yang diangkat dari budaya sendiri yang penuh nilai-nilai kearifan.
Pada sisi lain, kebiasaan membaca, sebagai salah satu kegiatan positif, perlu ditumbuhkembangkan sejak usia dini khususnya dalam dunia pendidikan. Meningkatkan budaya baca anak sebagai strategi pendidikan merupakan tugas kita semua: pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat. Strategi ini bukanlah pekerjaan yang mudah karena kondisi masyarakat kita belum menjadikan membaca sebagai budaya. Padahal, budaya baca merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa.
Hambatan untuk menumbuhkembangkan minat baca pada anak begitu besar. Di rumah, acara-acara televisi dan permainan video game telah membuat anak semakin menjauhi buku-buku yang mestinya dibaca. Lingkungan tempat tinggal anak pun belum mendukung agar anak gemar membaca. Kebiasaan atau budaya-baca di lingkungan anak belum menjadi bagian dari hidupnya.
Di sekolah, upaya atau program gemar membaca masih sebatas slogan-slogan di perpustakaan. Guru pun boleh dikatakan belum menjadi panutan untuk menumbuhkan minat-baca pada anak. Guru masih sebatas menyuruh anak-anak agar gemar membaca sedangkan guru sendiri belum menjadikan dirinya sebagai contoh (baca: model) sosok yang gemar membaca. Guru belum banyak berbuat untuk meningkatkan aktivitas membaca pada dirinya, dengan berbagai alasan pembenar yang dicari-cari. Padahal, karier seorang guru mesti diawali dengan aktivitas membaca sebelum melangkah ke aktivitas lain.
Dalam rangka meningkatkan minat baca anak, penyediaan buku bacaan sastra anak dipandang sebagai cara yang paling tepat. Mengapa demikian? Sastra dipercaya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam perkembangan anak. Ia memberi kenikmatan, mengembangkan imajinasi, memberi pengalaman baru, memberi pengertian atas kebiasaan manusia, dan memperkenalkan keuniversalan pengalaman (Huck, 1993). Bahkan, pendidikan melalui sastra memainkan peran penting dalam membentuk citra budaya yantertentu (Toha-Sarumpaet, Tanpa Tahun). Falcon (1986) menekankan bahwa buku adalah elemen penting dari ‘the industry of culture’ sekaligus elemen normatif dalam pengenalan budaya. Menyadari peran yang dimainkan sastra dalam membentuk dan memperkenalkan budaya, dan mengetahui bahwa informasi dan citra yang “stereotypic” dan karikatural serta tidak akurat mengenai kelompok-kelompok budaya sangatlah berbahaya bagi anak-anak yang sedang bertumbuh (Lloyd, 1981), perlu disadari oleh semua pihak dengan cara menyediakan buku bacaan anak yang mendukung citra dan nilai budaya yang positif dalam segala aspek. Dalam kasus ini, penyediaan buku bacaan anak berbasis kearifan lokallah sebagai salah satu pilihannya.

Kondisi Sastra Anak Indonesia
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama sastra anak dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun, karena berpatok kaku pada tataran ini. banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, kurang bahkan tidak berkembang. Hal yang sangat menampak adalah penonjolan unsur didaktis yang kuat sehingga menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Di Indonesia, pemerhati sastra anak masih dapat dihitung dengan jari. Sastra anak seolah terpinggirkan, jarang peneliti sastra yang memperhatikannya. Hanya segelintir orang saja yang getol berbicara tentang sastra anak, katakanlah Murti Bunanta, Sugihastuti, Riris K. Toha-Sarumpaet, dan Christantiowati. Mereka inilah yang menelorkan literatur tentang sastra anak, walaupun dalam periode awal, tulisan tersebut adalah hasil olahan dari skripsi. Literatur tersebut antara lain: (1) Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakikat Sifat dan Corak Bacaan Anak-Anak Serta Minat Anak Pada Bacaannya (Jakarta: UI, 1975) karya Riris K. Toha Sarumpaet, (2) Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (Balai Pustaka, 1996) karya Christantiowati, (3) Serba-Serbi Cerita Anak (Pustaka Pelajar, 1996) karya Sugihastuti, (4) Petunjuk Praktis Mengarang Cerita Anak-Anak (Balai Pustaka, 1991) oleh Wimanjaya K. Liotohe. Sementara literatur yang paling belakang muncul (5) Cerita Anak Kontemporer (Nuansa, 1999) oleh Trimansyah, dan (6) Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk Anak Indonesia (Balai Pustaka, 1998) oleh Murti Bunanta.
Pembaca pemula (baca: anak usia dini) di Indonesia pada umumnya mengenal bacaan melalui majalah anak-anak seperti Bobo, Bocil, Mentari, buku-buku cerita bergambar (picture book) terjemahan Gramedia dan Elex Media, juga buku-buku bernuansa Islami dari Mizan. Buku cerita bergambar ini banyak mengajarkan anak berbagai ragam tema dan persoalan. Sejak usia dini anak dikenalkan nilai-nilai pluralisme, penyesuaian diri, lingkungan hidup, etika, kontrol diri, kerjasama, berbagi, persahabatan, toleransi, cinta kasih, rasa takut, dan sebagainya. Setelah itu, disusul oleh bacaan komik-komik Jepang yang begitu banyak ragam judul dan temanya.
Pada periode berikutnya, ketika di sekolah, mereka baru mengenal buku-buku cerita rakyat Indonesia yang menjadi salah satu basis dari genre sastra anak. Buku cerita rakyat di sekolah biasanya dikoleksi melalui program pemerintah. Itupun tidak banyak. Dari koleksi buku sekolah yang ada, hanya puluhan saja yang merupakan cerita rakyat. Judulnya pun berkisar cerita rakyat yang sudah populer, misalnya Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Sangkuriang, Lutung Kasarung, atau Joko Kendil.
Sastra Anak Indonesia bisa dikatakan tersubordinasi oleh bacaan terjemahan. Anak-anak kita menjadi tamu di negeri sendiri. Kenyataannya memang demikian. Penerbit lebih memilih karya terjemahan dengan alasan ekonomis. Lihat saja, Seri Pustaka Kecil Disney yang terbit 29 judul (al: Cinderella, Putri Aurora, Putri Salju dan 7 Orang Kerdil), 8 judul Seri Petualanganmu yang Pertama, (antara lain: Burung Hantu Kecil Meninggalkan Sarang, Kelinci Kecil Bermain dengan Adik, Ulang Tahun Babi Kecil) oleh Marcia Leonard, 12 judul Seri Boneka Binatang (antara lain: Bello Naik balon Udara, Bello Mendapat Sahabat, Bello Punya Kapal Selam) oleh Tony Wolf, 6 judul Seri Jennings oleh Anthony A. Buckeridge, 3 judul Seri Adikku yang Nakal oleh Dorothy Edwards.
Seri-seri detektif juga mewarnai karya terjemahan, misalnya Seri Klub Detektif karya Wolfgang Ecke, Seri Enstein Andersen oleh Seymore Simon, dan Seri Klub Ilmuwan Edan karya Bertrand R. Brinley. Namun ada juga cerita-cerita lucu, seperti 15 judul Seri The Baby Sitter Club karya Ann. M. Martin. Satu lagi, Ratu Tukang Cerita, Enid Blyton, yang telah mengarang lebih dari 700 judul buku yang diterjemahkan dalam 129 bahasa. Karya terjemahan Enid Blyton bertebaran di Indonesia, tidak kurang dari 28 judul Seri Mini Noddy (al: Belajar Jam Bersama Noddy, Belajar Berhitung Bersama Noddy, Belajar Berbelanja Bersama Noddy), 21 judul Seri Lima Sekawan yang juga telah difilmkan, 6 judul Seri Komplotan, 6 judul Seri Kembar, 3 judul Seri Sirkus, 6 judul Seri Mallory Towers, dan 3 judul Seri Gadis Badung.
Begitulah, karya-karya terjemahan tersebut telah menenggelamkan karya-karya sastra anak lokal yang tidak dapat muncul di permukaan. Kebanyakan hanya menghuni rak-rak perpustakaan sekolah karena memang sebagian besar merupakan hasil subsidi pemerintah melalui program Inpres dan DAK. Dibanding dengan karya terjemahan yang terbit, kualitas fisik karya lokal tersebut memang jauh di bawah. Karya-karya terjemahan muncul dengan tampilan gambar, warna, dan kertas yang menawan.
Kemandegan sastra anak lokal juga diperparah oleh tidak adanya program-program sastra di sekolah dan di perpustakaan yang membicarakan buku lokal, kecuali untuk buku-buku sastra remaja dan dewasa karya pengarang muda yang cepat sekali mendapat apresiasi dan terjual puluhan ribu kopi, katakanlah Dewi Lestari, Ayu Utami, dan Habiburrahman El Shirazi. Bahkan, siapapun orangnya, posisi pengarang bacaan anak tidaklah menarik untuk dikupas. Hal ini menampak ketika para selebritis menulis buku untuk anak, seperti Soraya Haque, Marisa Haque, Vinny Alvionita, Gito Rollies, Dwiki Dharmawan, dan Monica Oemardi. Bandingkan dengan buku anak karangan Madonna yang mutunya biasa saja tetapi gemanya sudah ke mana-mana. Jika demikian, semakin lemahlah orang-orang yang benar-benar intens di jalur ini, seperti pengarang muda Donny Kurniawan dan Eko Wardhana yang karya-karyanya cukup menjanjikan.
Memang ada pengarang sastra anak yang cukup beruntung di periode terkini, yaitu Murti Bunanta yang karya dwi bahasanya Si Bungsu Katak (Balai Pustaka, 1998) mendapat penghargaan internasional, The Janusz Korczak International Literary Prize Honorary Award dari Polandia. Juga karya Legenda Pohon Beringin (KPBA, 2001) yang mendapat hadiah utama Octogones 2002 for Reflets d’Imaginaire d’Ailleurs. Bukan cuma itu. Sebuah buku ceritanya, Kancil dan Kura-kura (KPBA, 2001) yang mengadaptasi cerita dari Kalimantan Barat, telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang dan dipanggungkan di sana oleh sebuah grup teater anak profesional selama satu tahun. Murti Bunanta juga diminta oleh penerbit Amerika (Westport, Library Unlimited Inc.) untuk menuliskan buku cerita rakyat Indonesia yang kemudian terbit tahun 2003 dengan judul Indonesian Folktales. Kini, dia menggagas dan menerbitkan buku-buku kecil untuk anak dan pembaca yang mulai belajar bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut kemudian diketahui laku dibeli oleh 52 perpustakaan di Singapura dan rencananya juga akan dapat dibeli di Australia.
Tantangan pengarang sastra anak Indonesia dewasa ini menjadi demikian berat karena tidak saja melawan sesama pengarang buku anak di dunia, tetapi juga melawan daya tarik media elektronik dan kemajuan teknologi yang pesat. Sebuah Perpustakaan Digital Anak-Anak Internasional (International Children’s Digital Library) telah hadir di Library of Congress (Amerika) yang telah mencatat 275 buku koleksi yang dipilih dari buku-buku terbaik di dunia yang dapat diakses cuma-cuma melalui jaringan internet. Diperkirakan tahun ini akan mencapai 10.000 buku dalam lebih dari 100 bahasa. Karya-karya yang dikoleksi meliputi buku action, petualangan, dongeng, cerita pendek, dan drama. Namun, yang paling merisaukan adalah adanya usaha mengambil alih cerita rakyat Indonesia oleh pengarang Barat. Contoh nyata terjadi pada cerita-cerita asal Bali yang kemudian ditulis oleh Ann Martin Bowler dengan ilustrator I Gusti Made Sukanada yang berjudul Gecko’s Complain, juga Balinese Children Favorite Stories yang ditulis oleh Victor Mason dengan ilustrator Trina Bohan-Tyrie.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, para pengarang cerita anak kita harus cepat bertindak menggali potensi cerita yang banyak bertebaran di bumi Indonesia. Patut diacungi jempol bagi Kelompok Pencinta Bacaan Anak yang telah menerbitkan berbagai buku cerita rakyat, antara lain Suwidak Loro, Si Kancil dan Kura-Kura, Kancil dan Raja Hutan, Si Kecil, Si Bungsu Katak, dan Senggutru dengan sampul hard cover dan dwibahasa. Cerita-ceritanya pun dapat disederhanakan dan didongengkan di kelas untuk anak usia dini.

Kearifan Lokal sebagai Basis Buku Bacaan Anak
Istilah “kearifan lokal” atau local wisdom mempunyai arti yang sangat mendalam dan menjadi suatu kosakata yang sedang familiar di telinga kita akhir-akhir ini. Banyak ungkapan dan perilaku yang bermuatan nilai luhur, penuh kearifan, muncul di komunitas lokal sebagai upaya dalam menyikapi permasalahan kehidupan yang dapat dipastikan akan dialami oleh masyarakat tersebut. Hal ini muncul ke permukaan karena tidak adanya solusi global yang dapat membantu memberikan jawaban terhadap segala kejadian yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Premis-premis umum yang selama ini menjadi standar bersama dalam membedah dan "mengobati" setiap penyakit yang timbul sudah tidak lagi menjangkau permasalahan yang mengemuka di komunitas lokal. Masyarakat yang menghuni di suatu tempat tertentu sudah dapat menyelesaikan permasalahannya dengan solusi yang penuh kearifan tanpa harus memakai standar yang berlaku secara umum.
Di sisi lain, komunitas lokal (local community) menjawab tantangan kehidupan ini dengan kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Kearifan atau kebijaksanaan (wisdom) tersebut muncul bisa jadi karena pengalaman yang selama ini terjadi telah menjadikannya sebagai jawaban dan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Faktor keterlibatan para pendahulu, nenek moyang, yang mewariskan tradisi tersebut kepada generasi berikutnya menjadi sangat penting bagi terjaganya kearifan tersebut. Dalam perkembangannya, bisa jadi kearifan yang timbul antarkomunitas lokal itu berbeda dengan yang lainnya, tanpa menghilangkan subtansi yang dimiliki dari nilai kearifan tersebut, yaitu berfungsi sebagai solusi terhadap masalah yang ada di sekitanya. Sehingga, dalam beberapa hal akan memungkinkan timbulnya kearifan yang beraneka ragam dari komunitas lokal tersebut, walau dengan objek permasalahan yang sama.
Sebagai misal, orang Jawa yang tinggal di daerah pegunungan atau pedesaan akan berbeda kearifannya dengan orang Jawa yang tinggal di perkotaan ketika sama-sama melihat permasalahan mereka di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang Jawa pegunungan atau pedesaan akan mempunyai kecenderungan menjadi seorang petani yang tangguh lagi ulet dalam menghadapi tuntutan kehidupan dan lingkungan. Faktor alam juga menjadi penopang bagi diri orang Jawa gunung-pedesaan untuk menjadi seorang petani dari pada menjadi seorang pedagang atau bekerja di pabrik dan industri. Lain halnya dengan orang Jawa yang tinggal dan hidup di daerah perkotaan. Ia akan mempunyai kearifan lain yang menuntun dirinya sebagai seorang pedagang atau sebagai karyawan yang bekerja di perusahaan swasta atau bekerja sebagai pejabat di instansi pemerintahan dari pada bekerja sebagai seorang petani.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat didefinisikan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai “kebijakan setempat” (local wisdom), “pengetahuan setempat” (local knowledge), atau “kecerdasan setempat” (local genious). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka itu, dengan memperhatikan ekosistem (flora,fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.
Dalam upaya pemertahanan nilai-nilai kearifan lokal ini, masyarakat setempat mengemasnya dalam bentuk “pendidikan tidak langsung” berupa cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat. Lewat berbagai kemasan ini diharapkan akan terjadi “warisan” kearifan lokal pada generasi penerusnya. Warisan yang diyakini mengandung nilai-nilai kearifan inilah yang perlu dimanfaatkan sebagai basis bacaan anak. Dengan cara demikian, diharapkan akan tertanam norma-norma budaya sendiri pada diri anak, yang secara potensial (langsung atau tidak langsung) akan berpengaruh dalam perilaku hidupnya.

Penulisan Cerita Anak Berbasis Kearifal Lokal“Buku cerita bukan pengganti kehidupan tetapi dapat memperkaya kehidupan.” Demikian ungkapan May Hill Arbuthnot dalam bukunya Children of Books. Peneliti bacaan anak ini mengatakan bahwa ketika kehidupan terkonsentrasi pada kenyataan sehari-hari, buku justru mampu mempertinggi kepekaan. Buku bacaan dapat membantu membebaskan diri dari kesulitan dengan memberi wawasan baru, memberi kesempatan beristirahat dan kesegaran yang kita butuhkan, menjadi sumber informasi yang menyenangkan, dan disukai bagi orang yang tahu manfaatnya.
“Buku bacaan untuk anak secara alamiah adalah buku yang disukainya,” kata Arbuthnot. “Secara psikologis anak selalu mencari-cari untuk keseimbangan yang sulit antara kebahagiaan pribadi dan persetujuan sosial. Dan, ini tidak mudah baginya.” Namun, bacaan dapat membantu anak secara langsung maupun tidak langsung. Yang penting diketahui oleh para penulis dan ilustrator cerita untuk anak adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapai oleh anak. Antara lain, rasa aman, penyaluran emosi yang menyebabkan anak suka dengan cerita-cerita menyentuh perasaan, ingin lebih pandai karena anak suka berpikir, keberhasilan atau prestasi untuk pertumbuhan moral, permainan dan perubahan sebagai pemenuhan daya imajinasi dan fantasi, keindahan atau seni, bimbingan dan kasih sayang.
Rampan (2003:89-94) mengatakan bahwa buku cerita anak adalah buku cerita yang sederhana tetapi kompleks. Kesederhanaan itu ditandai oleh syarat wacananya yang baku dan berkualitas tinggi, namun tidak ruwet sehingga komunikatif. Di samping itu, pengalihan pola pikir orang dewasa kepada dunia anak-anak dan keberadaan jiwa dan sifat anak-anak menjadikan syarat cerita anak-anak yang digemari. Dengan kata lain, cerita anak-anak harus berbicara tentang kehidupan anak-anak dengan segala aspek yang berada dan memengaruhi mereka.
Pada sisi lain, kekompleksan cerita anak ditandai oleh strukturnya yang tidak berbeda dari struktur fiksi pada umumnya. Dengan demikian, organisasi cerita anak-anak harus ditopang sejumlah pilar yang menjadi landasan terbinanya sebuah bangunan cerita. Sebuah cerita akar, menjadi menarik jika semua elemen kisah dibina secara seimbang di dalam struktur yang isi-mengisi sehingga tidak ada bagian yang terasa kurang atau terasa berlebihan. (Badingkan dengan Toha_Sarumpaet, 2003: 111-121).
Secara sederhana, sebuah cerita sebenarnya dimulai dari tema. Rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik sehingga anak-anak tidak merasa membaca wejangan moral atau khotbah agama. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur sehingga dari bacaan itu anak-anak dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan apa yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya, tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca.
Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua, yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik maupun karakternya digambarkan secara lengkap. Di samping itu, sering pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu sisi (baik atau jahat) sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja ataupun membenci dari para pembaca. Penokohan seharusnya memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh hingga lahir identifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagai antagonis yang dibenci.
Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan latar tempatnya dilakukan secara tepat. Karena latar berhubungan dengan tokoh dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukkan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukkan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah sehingga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa latar memperkuat tokoh dan menghidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.
Pilar keempat adalah alur. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Dengan sederhana alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, di mana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa demi peristiwa berkaitan langsung satu sama lain sampai cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, di mana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks, dan leraian. Khususnya pada cerita-cerita panjang, alur episodik ini dapat memberi pikatan karena keingintahuan pembaca makin dipertinggi oleh hal-hal misterius yang mungkin terjadi pada bab selanjutnya. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau alur maju (foreshadowing). Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara "foreshadowing" merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang akan terjadi.
Sebuah cerita tidak mungkin menarik tanpa peristiwa dan konflik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi menimbulkan konflik tertentu, seperti konflik pada diri sendiri (person-against-self); konflik tokoh dengan orang lain (person-against-person); dan konflik antara tokoh dan masyarakat (person-against-society). Dengan alur yang pas karena peristiwa-peristiwa yang sinkronis dengan konflik umumnya meyakinkan pembaca anak-anak dan hal itulah yang membawa mereka senang, takut, sedih, marah, dan sebagainya. Dengan bantuan bahasa yang memikat, anak-anak merasa senang untuk terus membaca.
Pilar kelima adalah gaya. Di samping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatakan bahwa keberhasilan sebuah cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca; ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup; suspense yang menyimpan kerahasiaan; pemecahan persoalan yang rumit, namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Di samping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.
Pilar keenam adalah ilustrasi. Ilustrasu adalah gambaran visual yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita. Oleh karena itu, ilustrasi yang baik akan dapat mendorong anak untuk tertarik membaca cerita dan dapat mempercepat keutuhan pemahaman anak atas isi cerita. Terkait dengan itu, ilustrasi cerita hendaknya disajikan secara ekspresif, imajinatif fantastis, dan dapat memperkaya wawasan anak.

Pascawacana
Poko-pokok pemikiran tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang ditanamkan nenek moyang kita lewat kemasan cerita rakyat, legenda, anekdot, kesenian rakyat dapat kita berdayakan dalam bentuk bacaan anak. Lewat bacaan berbasis kearifan lokal ini diharapkan anak dapat memetik norma-norma yang berpijak pada budaya sendiri, yang langsung atau tidak langsung akan berimbas pada kehidupannya.
Agara pemikiran ini tidak hanya sebatas wacana, menjadi tugas kita semua (pemerintah, pemerhati budaya, guru, akademisi, penulis cerita, orang tua, masyarakat) untuk segera melakukan tindakan nyata sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kita masing-masing. Dengan cara demikian, dampak arus global yang dapat memorak-porandakan tatanan nilai-nilai kearifan yang selama ini kita yakini kebenarannya akan dapat terbendung.

Pustaka Acuan
Brodart Foundation. 1979. Elementary School Library Collection: A Guide to Books and Other Media. Various Editions. Newark, NJ.: Bro-dart Foundation.
Budd, R. W., R. K. Thorp, dan L. Donohew. 1967. ContentAnalysis of Communications. New York: Macmillan.
Falcon, L. Nieves. 1986. “Children’s Books as a Liberating Force.” Dalam Interracial Books for Children Bulletin, Vol. 7, No. 1, hal. 4-6.
Forsdale, Louis. November 1955. “Helping Students Observe Processes of Communication.” dalam Teacher’s College Record 57.
Good, C. V. dan Douglas E. Scates. 1954. Method of Research: Educational, Psychological, Sociological. New York: Appleton.
Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".
Hadits, Fawzia Aswin. 2003. "Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Huck, Charlotte S., 1993. Children’s Literature in the Elementary School. Fifth Edition. Forth Worth, TX: Harcourt Brace.
Lloyd, Marcus. 1981. The Treatment of Minorities in Secondary School Textbooks. New York: Anti-Defamation League of B’nai B’rith.
Pratt, David. 1972. How to Find and Measure Bias in Textbooks. Englewood Cliffs: Educational Technology Publication.
Rampan, Korrie Layun. 2003. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati Halaman : 89 -- 94
Titik W.S. 2003. "Menulis" dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Toha-Sarumpaet, Riris K. Tanpa Tahun. “Sastra dan Pemahaman Budaya.” Makalah untuk diskusi Program Studi Ilmu Susastra, Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
____________. 2003. “Struktur Bacaan Anak” dalam Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.
Wilson, H. W. 1960-1980. Children’s Catalog. Various Editions. New York: H. W. Wilson.

03 Juni 2009

Keluarga besar Masnur Muslich di tengah Ibu Hj. Siti Solichah yang dikagumi karena kesabarannya.


Yanti dan Bunda Afidah Hayati. Lomba senyum, kali?


Vanty yang wajahnya diimut-imutkan


Lely yang dipaksa foto oleh ketua RT karena mau ngurus KTP. He he. Lucu...


Bulik Fathonah, sosok ibu yang patut diteladani.

26 Mei 2009

Terpaksa Ulang Tahun

Tar ulang tahun yang disuguhkan anak-anak pada jam 00.00


Masnur Muslich ketika dipaksa meniup lilin ulang tahun oleh anak-anak

Kayla: Ulah dan Tingkahnya

Kayla ketika berpose ala Manohara




Kayla ketika menyundang teman-temannya dalam acara ulang tahun di MacD




Kayla ketika ikut-ikutan menipu lilin ulang tahun opanya (Masnur Muslich)



Kayla setelah diwisuda sebagai "sarjana kecil" di Play Groupnya

18 Maret 2009

Apa bahasa gaul Salah?

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan email dari Sdr. Intan terkait dengan tulisan saya bertajuk "Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia". Serangkaian pertanyaan diajukan oleh Sdr. Intan. Inilah jawaban saya.

Sdr Intan yang baik.
Terima kasih atas atensi dan komentar Anda atas artikel saya bertopik “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia”.
Tentang pertanyaan Anda, perlu saya jelaskan sebagai berikut.

1.Apakah bahasa gaul salah?
Bahasa gaul yang dipakai di kalangan remaja tidak salah. Sebab, semua bahasa yang hidup, termasuk bahasa Indonesia, selalu berkembang sesuai dengan perkembangan dan keperluan pemakaiannya. Bagi kalangan remaja, bahasa gaul dianggap bahasa (sebagai alat komunikasi) yang dapat mewakili keperluan ekspresi dengan sesama dan dapat menunjukkan jati dirinya lewat istilah-istilah khas yang mereka gunakan.
Dilihat dari sosok ideal bahasa Indonesia, bahasa gaul dinilai pembina bahasa Indonesia (khususnya guru) dan tatabahasaan sebagai bahasa yang menyimpang karena akan mengarah ke perkembangan bahasa Indonesia secara divergen. Keresahan ini tidak perlu terjadi apabila pembina bahasa menyadari bahasa gaul tidak akan berinterferensi ke ranah pemakaian bahasa yang lain. Ketika keluar dari komunitas remaja, mereka (pemakai bahasa gaul) tidak akan lagi menggunakan bahasa gaul. Mereka akan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan komunitas barunya.

2.Apakah kita selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap situasi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu tenang istilah “bahasa Indonesia yang baik dan benar “. “Bahasa Indonesia yang baik” adalah pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks situsi dan kondisi; sedangkan “bahasa Indonesia yang benar” adalah pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Bahasa Indonesia yang dipakai sesuai dengan konteks tetapi tidak sesuai dengan kaidah akan berdampak tidak atau kurang dipahami maksudnya. Sementara itu, bahasa Idonenesia yang dipakai sesuai dengan kaidah tetapi tidak sesuai dengan konteks akan terlihat janggal dan lucu.
Ilustrasi berikut dapat memperjelas fenomena di atas. Suatu pagi dua anak kos sekamar yang sudah akrab bersiap-siap berangkat kuliah. Si A masuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Karena lama di kamar mandi, Si B mengikatkannya agar cepat-cepat keluar dari kamar mandi sebab jam kuliah tinggal sepuluh menit. Apalagi, si B juga belum mandi. Apakah si B mengungkapnya dengan kalimat “Mas, cepat-cepat keluarlah dari kamar mandi agar tidak terlambat kuliah!” (sambil mengetuk pintu kamar mandi tiga kali). Kalimat tersebut benar secara kaidah tetapi kaku secara konteks. Yang baik dan tidak menyalahi kaidah adalah “Cepat keluar, Mas! Nanti terlambat!”

3.Apakah bahasa Indonesia yang baik dan benar melingkupi bahasa Indonesia zaman dulu (yang belum disempurnakan) dan bahasa Indonesia sekaragn (sesuai dengan EYD)?
Pertanyaan ini mencampuradukkan antara konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar dan konsep EYD. EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) adalah pedoman atau aturan penulisan yang harus disepakati dalam tulis-menulis bahasa Indonesia. Jadi, bersifat instruksi. Oleh karena itu, ada SK-nya dari Pemerintah. Sebagai kelengkapannya, Pemerintah juga mengeluarkan Pedoman Penulisan Istilah. Kedua pedoman ini mestinya (bahkan harus) dipatuhi pemakai bahasa Indonesia agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif.
Terkait dengan EYD (dan juga penulisan istilah) ini harus diterapkan secara benar. Tidak ada hubungannya dengan bahasa Indonesia lama atau baru. Misalnya, kalau ejaan lama frase “di kelas” ditulis gandeng dikelas, maka sekarang harus ditulis di kelas (terpisah); istilah asing “object” pada ejaan lama ditulis obyek, ejaan baru harus ditulis objek.
Saat ini yang justru menjadi masalah adalah penulisan istilah asing yang sering salah. Pemakai bahasa Indonesia masih saja menulis sistim, kwitansi, apotik, standarisasi, legalisir, jadual padahal yang benar sesuai dengan Pedoman Istilah adalah sistem, kuitansi, apotek, standardisasi, legalisisasi, jadwal.
Demikian penjelasan yang dapat saya sampaikan. Semoga ada manfaatnya. Mari kita bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Jadikan bahasa Indonesia berkembang secara konvergen lewat pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Perencanaan Bahasa (Language Planning) pada Era Globalisasi

Oleh Masnur Muslich

Prakata

Buku Perencanaan Bahasa (Language Planning) pada Era Globalisasi ini merupakan kapita selekta dari berbagai tulisan yang terkait dengan usaha pemberdayaan bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Sebagai bahasa yang mendapatkan label “identitas bangsa”, “wahana budaya”, “bahasa persatuan”, “bahasa nasional”, “bahasa resmi”, “bahasa pendidikan”, “bahasa iptek”, dan sebagainya, keberadaan bahasa Indonesia pada era glabalisasi ini semakin terasa perlu dilestarikan bahkan dimantapkan keberedaannya. Apalagi, pada era globalisasi ini fenomena yang siap merenggut keberdayaan bahasa Indonesia sudah “menganga” di berbagai lini kehidupan. Kemajuan teknologi komunikasi dan media yang sudah menguasai sebagian besar kehidupan bangsa Indonesia akan bisa meminggirkan bahkan mencampakkan perkembangan bahasa Indonesia apabila tidak disikapi secara arif yang disertai sikap positf terhadapnya.
Lewat ilustrasi dan gagasan-gagasan yang tertuang dalam buku ini diharapkan semua pihak yang merasa “memiliki” bahasa Indonesia bisa ikut melestarikan dan memberdayakannya dalam kehidupan komunikasi di berbagai ranah dan keperluan secara proporsional. Selain itu, para penentu kebijakan dan para profesional di bidang kebahasaan ikut terpacu dan terlibat secara aktif dalam upaya “mendewasakan” bahasa Indnesia menjadi bahasa yang berwibawa sehingga bisa menjalakan kedudukan dan fungsinya secara mantap. Sebab, tugas perencanaan bahasa ini bukan hanya dibebankan kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, tetapi menjadi beban dan tugas semua pihak. Kesadaran ini apabila diterapkan secara proporsional tentu akan menepis kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia akan terpinggirkan para era globalisasi.
Secara akademik, buku ini bisa memberikan wawasan teoretis kepada mahasiswa jurusan (pendidikan) bahasa Indonesia, guru dan pembina bahasa Indonesia di semua jenjang pendidikan, dan penentu kebijakan di bidang pendidikan. OLeh karena itu, tinjauan teoretis selalu menjadi landasan uraian yang tertuang dalam buku ini sehingga menjadi rujukan bagi yang memerlukannya.
Semoga upaya ini bersambut.

Malang, Februari 2009


Masnur MUslich



Daftar Isi

Prakata
Pendahuluan
1. Dasar-dasar Perencanaan Bahasa
2. Sejarah Perkembangan Perencanaan Bahasa
3. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
4. Bahasa Indonesia sebagai Identitas dan Penyatu Bangsa Menghadapi Pengubah Sosial
5. Bahasa dan Sastra sebagai Identitas Bangsa dalam Proses Globalisasi
6. Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi
7. Masalah Rasa Setia Bahasa dan Pembinaan Bahasa Indonesia
8. Bahasa dan Rasa Kebangsaan
9. Modernisasi Bahasa Indonesia
10. Beberapa Pedoman dalam Standardisasi Bahasa di Sepanjang Sejarah
11. Peristilahan dalam Bahasa Indonesia
12. Persoalan di Sekitar Bentuk Ucapan Baku Bahasa Indoensia
13. Kegiatan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
14. Kegiatan Kongres Bahasa Indonesia
Daftar Pustaka
Lampiran:
Lampiran 1: Putusan Kongres Bahasa Indonesia I
Lampiran 2: Putusan Kongres Bahasa Indonesia II
Lampiran 3: Putusan Kongres Bahasa Indonesia III
Lampiran 4: Putusan Kongres Bahasa Indonesia IV
Lampiran 5: Putusan Kongres Bahasa Indonesia V
Lampiran 6: Putusan Kongres Bahasa Indonesia VI
Lampiran 7: Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII
Lampiran 8: Putusan Kongres Bahasa Indonesia VIII


Pendahuluan

Istilah “perencanaan bahasa” atau language planning sudah tidak asing lagi bagi negara mana pun. Bahkan, istilah ini merupakan salah satu program nasional bagi negara yang menginginkankan sistem komunikasi verbalnya berjalan dengan lancar dalam segala bidang kehidupan di negaranya. Yang membedakan hanyalah strategi dan penekanannya, karena setiap negara mempunyai “sejarah” tersendiri bagi bahasa yang dipakainya. Bahkan, karena pentingnya masalah bahasa ini, kenyataan membuktikan bahwa setiap negara penjajah selalu “mengatur” bahasa – alih-alih disebut “merencanakan bahasa” – atas negara jajahannya. Begitu juga sebaliknya, negara yang baru merdeka atau dimerdekakan oleh negara penjajahnya, pertama-tama yang digarap adalah “memulihkan” bahasanya. Mengapa hal ini terjadi secara sistemik? Konsep perencanaan bahasa yang diulas dalam bab 1 dan sejarah perkembangan perencanaan bahasa yang dikupas dalam bab 2 kiranya dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Begitu juga bahasa Indonesia bagi negara dan bangsa Indonesia. Dengan kedudukan dan fungsinya yang amat sarat, sebagaimana yang diuraikan dalam bab 3, negara dan bangsa Indonesia merasa bertanggung jawab, bahkan berkewajiban, memantapkan keberadaan bahasa Indonesia dalam peri kehidupannya. Apalagi disadari bahwa bahasa Indoneaia sudah menjadi “identitas´dan “simbol” negara dan bangsa Indonesia setaraf dengan lambang negara “Garuda Pancasila” dan lagu nasional “Indonesia Raya”. Sebagai identitas dan simbol bangsa, sebagaimana diuraikan pada bab 4 dan 5, bahasa Indonesia mesti tetap eksis di tengah-tengah pergaulan dunia pada era globalisasi ini, walaupun tidak sedikit tantangannya sebagaimana diuraikan pada bab 6. Rasa setia terhadap bahasa Indonesia (diuraikan pada bab 7) dan rasa kebangsaan (diuraikan pada bab 8) harus tetap terpatri di setiap sanubari bangsa Indonesia, kalau tidak ingin “tenggelam” di lautan globalisasi. Sebab, pengaruh apa pun akan mental kalau kedua benteng tersebut masih bertengger di sebagian besar bangsa pemilik bahasa Indonesia.
Pada sisi lain, bahasa Indonesia harus mengikuti irama perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Karena bangsa Indonesia ingin maju dan ingin modern setaraf dengan bangsa modern lainnya, bahasa Indonesia pun perlu dikembangkan ke arah yang modern dengan cara standardisasi di berbagai unsur linguistiknya, mulai dari standardisasi ejaan, istilah, ucapan, dan sebagainya. Sebab, dengan cara inilah, bahasa Indonesia bisa berkembag secara konvergen, yaitu berkembang ke aras yang lebih mantap, bisa mewadahi semua konsep yang diinginkan penuturnya. Bab 9, 10, 11, dan 12 menguraikan secara tuntas persoalan standardisasi ini.
Upaya-upaya perencanaan bahasa Indonesia baik dalam bentuk pembinaan dan pengembangan sudah lama dilakukan, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari isu-isu yang muncul dalam setiap Kongres Bahasa Indonesia sejak tahun 1938 (Kongres I) sampai dengan sekarang (Lihat bab 14). Serangkaian kegiatan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pun mencerminkan betapa perhatian pemerintah terhadap bahasa Indonensia (Lihat bab 13).
Yang perlu disadari adalah upaya perencanaan bahasa Indonesia tidak dimaksudkan untuk memanipulasi – apalagi mengebiri – kealamiahan bahasa. Sebab, selama ini ada yang tak acuh terhadap program perencanaan bahasa ini dengan mengatakan “biarlah bahasa hidup seperti apa adanya”, “Leave your language alone” (kata Robert Hall Jr), “tanpa ada perencanaan bahasa, bahasa Indonesia tidak akan mati”, dan ungkapan sinis laininya. Sebagai bahasa yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sarat, sangat layak kalau pemakainya mempunyai obsesi agar kedudukan dan fungsi tersebut bisa tetap eksis. Oleh karena itu, sebagaimana norma-norma budaya yang lain, norma-norma yang dianggap bisa mendukungnya (baik norma linguistik maupun non-linguistik) perlu diformulasikan agar bisa diterapkan oleh pemakainya.

===
Anda ingin membaca buku lengkap, tunggu penerbitannya. Atau, hubungi Masnur Muslich email: muslich_m@yahoo.co.id

Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, Pengembangan

oleh Masnur Muslich

PRAKATA

Buku yang terkemas dalam tajuk Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, Pengembangan ini merupakan kumpulan dari berbagai tulisan yang menyebar di beberapa media, terutama jurnal bahasa dan pendidikan. Tujuan kehadiran buku ini adalah memberikan wawasan – atau setidak-tidaknya mengingatkan kembali – kepada pembaca bahwa pada era global yang hampir tidak mengenal batas negara, bangsa, dan budaya ini, bahasa Indonesia mesti, bahkan harus, tetap bisa mengemban visi dan misinya bagi negara dan bangsa Indonesia seiring dengan kedudukan dan fungsinya yang amat sarat itu.
Oleh karena itu, buku ini terasa cocok dibaca oleh siapa saja yang menaruh perhatian kepada bahasa Indonesia, terutama pembina (guru dan dosen) bahasa Indonesia dan mahasiswa jurusan atau program (pendidikan) bahasa Indonesia. Bahkan, para penentu kebijakan di bidang pendidikan (mulai dari kepala sekolah sampai dengan kepada dinas pendidikan) dan pemerhati budaya pun berkepentingan memperoleh wawasan tentang pembinaan dan pengembangan bahasa ini.
Semoga upaya ini ada guna dan manfaatnya bagi kejayaan bahasa Indonesia. Semoga.


Malang, Februari 2009


Masnur Muslich



DAFTAR ISI

Prakata
Pendahuluan

Bagian Satu:
1.Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
2.Bahasa Indonesia sebagai Identitas dan Penyatu Bangsa
3.Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi

Bagian Dua:
4.Pembinaan Bahasa Indonesia
5.Peran Masyarakat dalam Pembinaan Bahasa Indonesia
6.Sasaran Umum Pembinaan Bahasa Indonesia
7.Upaya Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Kesusastraan di Daerah
8.Peranan Pemimpin dalam Pembinaan Bahasa Indonesia
9.Pembinaan Pengajaran Bahasa Indonesia
10.Hambatan Non-linguistis Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Kedua
11.Linguistik dan Pengajaran Bahasa Indoesia

Bagian Tiga:
12.Pengembangan Bahasa Indonesia
13.Beberapa Pedoman dalam Standardisasi Bahasa di Sepanjang Sejarah
14.Peristilahan dalam Bahasa Indonesia
15.Persoalan di Sekitar Bentuk Ucapan Baku Bahasa Indonesia
16.Kegiatan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Daftar Pustaka
Lampiran
Lampiran 1: Putusan Berbagai Kongres Bahasa Indonesia
- Lampiran 1.a: Putusan Kongres Bahasa Indonesia I
- Lampiran 1.b: Putusan Kongres Bahasa Indonesia II
- Lampiran 1.c: Putusan Kongres Bahasa Indonesia III
- Lampiran 1.d: Putusan Kongres Bahasa Indonesia IV
- Lampiran 1.e: Putusan Kongres Bahasa Indonesia V
- Lampiran 1.f: Putusan Kongres Bahasa Indonesia VI
- Lampiran 1.g: Putusan Kongres Bahasa Indonesia VII
Lampiran 2: Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional
Lampiran 3: Hasil Perumusan Seminar Bahasa Daerah


PENDAHULUAN

Era globalisasi yang ditandai dengan arus komunikasi yang begitu dahsyat menuntut para pengambil kebijakan di bidang bahasa bekerja lebih keras untuk lebih menyempurnakan dan meningkatkan semua sektor yang berhubungan dengan masalah pembinaan bahasa. Sebagaimana dikemukakan oleh Featherston (dalam Lee, 1996), globalisasi menembus batas-batas budaya melalui jangkauan luas perjalanan udara, semakin luasnya komunikasi, dan meningkatnya turis (wisatawan) ke berbagai negara.
Melihat perkembangan bahasa Indonesia di dalam negeri yang cukup pesat, perkembangan di luar negeri pun sangat menggembirakan. Data terakhir menunjukkan setidaknya 52 negara asing telah membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Bahkan, perkembangan ini akan semakin meningkat setelah terbentuk Badan Asosiasi Kelompok Bahasa Indonesia Penutur Asing di Bandung tahun 1999. Walaupun perkembangan bahasa Indonesia semakin pesat di satu sisi, di lain sisi peluang dan tantangan terhadap bahasa Indonesia semakin besar pula. Berbagai peluang bahasa Indonesia dalam era globalisasi ini antara lain adanya dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk peran media massa. Sementara itu, tantangannya dapat dikategorikan atas dua, yaitu tantangan internal dan tantang eksternal, baik linguistis maupun non-linguistis. Tantang internal linguistis berupa pengaruh negatif bahasa daerah berupa kosakata, pembentukan kata, dan struktur kalimat. Tantangan eksternal linguistis datang dari pengaruh negatif bahasa asing (teruatama bahasa Inggria) berupa masuknya kosakata tanpa proses pembenukan istilah dan penggunaan struktur kalimat bahasa Inggris. Sementara itu, tantangan internal non-linguistis berupa sikap negatif, tak acuh, dan sinis sebagian pemakai bahasa Indonesia. Tantangan ekternal non-linguistis berupa kurangnya penghargaan pemerintah, lembaga negara, dan lembaga profit terhadap kualitas atau kemahiran bahasa Indonesia.
Setelah mencermati berbagai peluang dan tantangan tersebut, muncullah serangkaian pertanyaan berikut.
Mampukah bahasa Indonesia mempertahankan jati dirinya di tengah arus tarik-menarik dari dua tantangan tersebut?
Apakah peluang-peluang yang mendukung pembinaan bahasa Indonesia dalam mempertahankan jati diri bahasa Indonesia?
Apa saja tantangan-tantangan masa depan terhadap perkembangan bahasa Indonesia dalam arus tarik-menarik tersebut?
Bagaimana upaya penanggulangan terhadap tantangan-tantangan tersebut?
Buku ini mencoba menjawab serangkaian pertanyaan tersebut dengan mengemasnya menjadi tiga bagian.
a.Bagian satu menyangkut kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia bagi negara dan bangsa Indonesia. Pada bagian ini diulas pengertian kedudukan dan fungsi bahasa, jenis-jenis kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, dan bagaimana keadaan bahasa Indonesia pada era globalisasi
b.Bagian dua menyangkut pembinaan bahasa Indonesia. Pada bagian ini diulas pengertian, sasaran, aspek pembinaan bahasa Indonesia, faktor penunjang dan penghambat pembinaan bahasa Indonesia baik faktor internal maupun eksternal, faktor linguistis maupun faktor non-linguistis. Juga diulas bagaimana peran pemimpin dan pembinaan bahasa Indonesia dan pembinaan bahasa Indonesia lewat pengajaran.
c.Bagian tiga menyangkut pengembangan bahasa Indonesia. Pada bagian ini diulas pengertian, sasaran, aspek pengembangan bahasa Indonesia, faktor penunjang dan penghambat pengembangan bahasa Indonesia baik faktor internal maupun eksternal. Juga diulas bagaimana upaya pembakuan bahasa, khusunya pembakuan istilah dan ucapan bahasa Indonesia, dan apa kegiatan yang telah dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa terkait dengan visi dan misinya.
Tentu saja upaya menjawab tantangan yang terkemas dalam buku ini hanyalah berupa obsesi sebagai anak bangsa yang ingin melestarikan bahasanya. Sebab disadari bahwa kehadiran bahasa Indonesia yang sampai saat ini dipakai oleh bangsa Indonesia merupakan hasil sejarah perjuangan bangsa yang cukup panjang yang juga dilakukan oleh anak bangsa yang menyadari rasa kebangsaannya (nationality). Oleh karena itu, akan naïf rasanya kalau kita tidak bisa melestarikan dan mengembangkannya, tetapi justru merusaknya.

==========
Uraian lebih lanjut, silakan baca buku lengkapnya yang segera terbit. Atau, hubungi Masnur Muslich di email: muslich_m@yahoo.co.id

05 Maret 2009

PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dika­ta­kan mempunyai sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul ma­saIah‑masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bu­nyi, bentukan kata, penulisan, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai baha­sa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah keba­hasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.

Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema‑problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu

(1) problema akibat bentukan baru,
(2) pro­b­lema akibat kontaminasi,
(3) problema akibat adanya unsur serapan,
(4) problema akibat analisis,
(5) problema akibat perlakuan kluster,
(6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
(7) problema akibat perlakuan bentuk majemuk.

Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.

A.Problema Akibat Bentukan Baru
Pada akhir‑akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai ha­sil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk member­­hentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesa­nakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani, misal­nya dalam kalimat:

1)Direktur CV "Marga" telah memberhentikan sekretarisnya.
2) Apakah Saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah mem­berlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahan­kan.
4) Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)Agar tidak semrawut, barang‑barang ini perlu dikesanakan.
6)Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di da­e­rah‑da­e­rah ra­wa.
9)Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap se­sama.
10)Menurut cerita barang siapa minum air surgawi akan awet muda.

Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak di­te­mu­kan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: "Apa­kah di­­benarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?". Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas pro­ses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secara screntak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap. Perta­ma, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber‑} dan henti. La­lu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN‑} dan {‑kan} (sebagai sumulfiks), sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu juga konstruksi memberlakukan. Perta­ma­tama, konstruksi itu dibentuk dari ber‑ dan laku. Dari bentuk ber­­­laku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men‑N} dan ‑kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada diagram beri­kut.


memberhentikan memberlakukan


meN‑kam // berhenti meN-kan // berlaku


ber‑ // henti ber- // laku


Dari diagram itu juga terlihat bahwa bentuk dasar konstruk­si mem­berhentikan adalah berhenti, sedangkan ben-tuk dasar kon­struk­si memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah bentuk asal dari konstruksi itu. De­­­ngan demikian, walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu te­tap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruksi diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakang­­an? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pem­­bentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. De­mikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk ba­ru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke sam­ping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfe­mis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begi­­tu juga bentuk dasar suatu konstruksi dapat ber­bentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun frase. (Sebagai pe­nge­cek­an, silakan diteliti kata‑kata yang telah meng­­alami proses mor­fologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk ba­ru sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks {‑(n)isasi} berasal dari ba­hasa Inggris ‑(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya modernisasi ("modernization"), standardisasi (standar­di­za­ti­on"), me­kanisasi ("mechanization"), berarti 'hal yang berhu­bunga­n dengan bentuk dasarnya' yang berfungsi pembendaan secara abstrak. Setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, afiks {‑(n)isasi} di­coba digabungkan dengan bentuk dasar baha­sa Indo­nesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan ben­­tuk da­sar turi, lele, pompa, sehingga timbullah konstruksi tu­ri­nisasi, lelenisasi, pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemung­­kinan apabila timbul konstruksi baru selain ketiga konstruksi di atas. (Apa­­kah Anda menemukannya?)
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan surgawi. Konstruksi itu mengalami pro­ses morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks {‑wi} pada bentuk dasar manusia dan surga. Kita tahu bahwa morfem afiks {‑wi} atau {‑i }apabila bentuk dasarnya berakhir dengan kon­sonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia (Mly) dan sur­ga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk da­sarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insani, dan alami, yang masing‑masing diadaptasikan dari "duni­ya­wiyyun" "ukhrawiyyun", "insaniy-yun"'dan "ala­miyyun".
Ternyata, akhiran ‑wi (‑i) yang berasal dari bahasa Arab itu, setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, diperlakukan se­­bagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks ‑wi (‑i) se­­karang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain dari ba­hasa aslinya (bahasa Arab) sebagaimana contoh di atas. Sehu­bungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks ‑wi dan ‑i. Afiks ‑wi dipakai pada bentuk da­sar yang berakhir dengan vokal, sedangkan afiks ‑i dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan. Oleh sebab itu, konstruksi *gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salah sebab afiks *‑ni tidak ada. Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani. Bentuk itu dikiranya bersufiks *‑ni, padahal sebenarnya bersufiks ‑i. Dengan demikian, yang benar adalah gerejawi sebab bentuk dasarnya, gereja, berakhir dengan vokal.

B.Problema Akibat Kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus ber­diri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, kon­­struksi itu menjadi kacau atau rancu artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diper­le­bar­kan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuraduk-k­an konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing‑ masing ber­arti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan juga dianggap sebagai kon­struk­si yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruk­si mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk da­sar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k]‑lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem {meN‑kan}. jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran kon­struksi dipelajari dan diajarkan, yang masing‑masing mempu­nyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang ran­cu.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pe­makai bahasa Indonesia harus mengetahui konstruksi yang s­emestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia harus juga me­­ngetahui konstruksi‑konstruksi yang tergolong rancu dan me­ngetahui juga alasannya. Sebab, logis sekali, jika ingin me­nge­­­tahui yang benar, orang harus mengetahui pula yang salah. Dengan cara itu, ia akan lebih jeli dan cermat memilih, menggunakan, dan menerangkan se­tiap bentukan kata.

C.Problem Akibat Unsur Serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pa­da kekacauan dan keragu‑raguan pemakaian bentuk da­ta­data, datum‑datum, data, datum; fakta‑fakta, faktum‑faktum, fak­ta, fak­tum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus. Kita tahu bah­wa ka­ta data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus ber­asal dari bahasa Latin, yang masing‑masing pa­sangan kata itu berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pa­sangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan alumni, sedangkan bentuk tung­gal­­nya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: "Apa bentuk tunggalnya apa­bila yang terserap hanya bentuk jamaknya?". Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi bagi pengamat bahasa per­tanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, wa­lau­­pun yang diserap bentuk jamaknya, ia lang­sung dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta, dan a­lum­ni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruk­si da­ta‑data, fakta‑fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta di­anggap benar, se­dangkan konstruksi *datum‑datum, *fak­tum­fak­tum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin se­ka­lian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam bahasa asing­nya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ula­ma, arwah berarti 'jamak'.
Bagaimana dengan konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan, mendo­minir, dan melegalisir? (Silakan disiasati!)

D.Problema Akibat Analogi
Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa de­ngan menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat pen­ting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pema­kaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase, dan kata berana­logi pada contoh yang telah ada atau yang te­­­lah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk keti­dakadilan, kita dapat membentuk konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan, kita dapat membentuk konstruksi dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersa­tu yang berarti 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk kon­struksi pemerhati ('yang memperhatikan'); dan, dengan ada­nya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh (yang masing­‑ma­sing berarti 'orang yang menyuruh' dan 'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan pe­tatar, pendaftar dan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, ada­lah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap ben­tuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya. Misal­nya, kata pihak dijadikan *fihak, kata *anggota dijadikan angga­u­ta, dan kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
Kata pihak dijadikan *fihak, didasarkan contoh bahwa bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. De­ngan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat dikemba­likan menjadi fikir, faham, dan fatsal. Pengembalian ini benar se­bab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari ba­ha­­sa Arab. Ka­ta pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab, sehingga ju­ga dikembalikan menjadi *fihak. Padahal, kata pi­hak tidak ber­asal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Melayu. Oleh sebab itu, kata *fihak dianggap sebagai hasil analogi secara sa­lah. De­ngan demikian, kata pihak‑lah yang benar.
Begitu juga kata anggota yang dijadikan *anggauta. Orang meng­anggap bahwa kata anggota sebagai hasil sandi dari kata anggauta sehagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi da­ri kata taufan dan taubat padahal tidak demikian. Kata ang­­gota bukan hasil sandi kata *anggauta, tetapi kata itu memang as­li. Oleh sebab itu, *anggauta dianggap hasil analogi yang sa­lah. Yang benar adalah anggota.
Kata serapan pun ada yang dianalogikan secara salah. Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai akibat analogi yang salah ter­hadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompeti­si; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhir dangan ‑if biasa­nya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhir dengan ‑si biasa­nya berkelas kata benda. Dikira juga bahwa bentuk alternatif (karena berakhir dengan ‑if) berkelas kata sifat, sehing­ga apabila dibentuk ke kelas kata benda akan menjadi *alternasi. Padahal, itu tidak demikian. Kata alternatif, yang berarti 'pilihan', sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu di­bendakan lagi menjadi *alternasi. Dengan demikian, pemakaian ka­ta alternatif pada kalimat Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. adalah sudah benar.

E.Problema Akibat Perlakuan Kluster
Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema ter­sen­diri dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klus­ter. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, pro­kla­masi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata‑kata ini, apabila dibentuk de­­ngan afiks yang bernasal, misalnya {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}, akan menimbulkan problem: "Apakah konsonan awal­­nya diluluhkan sebagai-mana konsonan k, p, t, s, dalam ka­ta baha­sa Indonesia asli?". Manakah yang benar dari deretan berikut?


I II

memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
pentransferan penransferan
mensponsori menyponsori, menyeponsori
pensponsoran penyponsoran, penyeponsoran
menstandarkan menytandarkan, menyetandarkan
penstandaran penytandaran, penyetandaran
mengklasifikasikan menglasifikasikan
pengklasifikasian penglasifikasian
mengkritik mengritik
pengkritikan pengritikan


Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung me­milih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a) bentuk serapan di atas berbe­da sifatnya dengan bentuk da­sar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal de­ngan k, p, t, s);
b)apabila diluluhkan, kemungkinan be­sar akan menyu-litkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
c)ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesa­lahpa­ha­man arti.

Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berkluster.

F.Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, ya­itu berkenan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam baha­sa lndonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah "Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang se­lama ini diterapkan dalam bentuk‑bentuk bahasa Indonesia asli?". Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaing­an pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan me­markir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruk­si yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui si­­fat atau kondisi bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serap­an dapat dikelompokkan menjadi dua:

(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga su­­dah tidak terasa lagi keasingannya, dan
(2)bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa ke­asingannya.

Bentuk se­rapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara pe­nuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses mor­­fologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Ber­dasarkan rambu‑rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau be­lum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah dig­abung dengan {meN‑kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sis­tem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk da­sar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}. Bagaimana dengan bentuk sup­lai, parkir, dan kalkula­si? Silakan disiasati!

G.Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat di sini ada­lah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungja­wab­an dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan ne­gara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu ter­­­­lihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan ben­­­­tuk majemuk yang unsur‑unsurnya dianggap renggang. Pen­­­dapat pertama menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mung­k­in disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur per­ta­ma dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat ke­dua meng­anggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga ne­gara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan di­si­si­pi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan ne­gara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari dua pendapat itu? Kita tahu bahwa su­atu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur‑un­sur­nya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila unsur‑unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu penda­pat yang memperlakukan unsur‑unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Fenomena ini sebagai tanda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat komunikasi bagi pemakainya. Yang penting adalah setiap kali ada fenomena bentukan baru kita harus bisa menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita bersikap normatif dan preskriptif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang muncul.

Uraian lebih lanjut silakan baca Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Unversitas Negeri Malang

Dalam premis telah disebutkan bahwa bunyi-bunyi lingual condong berubah karena lingkungannya. Dengan demikian, perubahan bunyi tersebut bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama. Dengan kata lain. perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi, apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem yang berbeda. Dengan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.
Jenis-jenis perubahan bunyi tersebut berupa asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis, sebagaimana uraian berikut.

A.Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.
Perhatikan contoh berikut.
1.Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.
2.Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
3.Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.
Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama.
Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.

B.Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Perhatikan contoh berikut!
1.Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
2.Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis.
3.Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.

C.Modifikasi Vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.
Perhatkan contoh berikut!
1.Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis.
Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).
2.Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!)
Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.
Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal.

D. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).

E. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:
- shall not disingkat shan’t
- will not disingkat won’t-
- is not
disingkat isn’t
- are not disingkat aren’t
- it is atau it has disingkat it’s.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop.
1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa

2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau


3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.

F.Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya: kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab.

G.Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:
- teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]
- topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]

H. Monoftongisasi
Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
- kalau [kalau] menjadi [kalo]
- danau [danau] menjadi [dano]
- satai [satai] menjadi [sate]
- damai [damai] menjadi [dame]

I.Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:
- putra menjadi putera
- putri menjadi puteri
- bahtra menjadi bahtera
- srigala menjadi serigala
- sloka menjadi seloka
Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].
Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog.
1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:
- mpu menjadi empu
- mas menjadi emas
- tik menjadi ketik
2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
- kapak menjadi kampak
- sajak menjadi sanjak
- upama menjadi umpama
3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:
- adi menjadi adik
- hulubala menjadi hulubalang
- ina menjadi inang

Bahan Pendalaman:
1.Pada asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang diasimilasi-kan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan alasan yang jelas beserta contohnya!
2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya? Berikan ilustrasi yang jelas!
3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam asimilasi ?
4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa Indonesia disertai contoh!
5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk peristiwa zeroisasi? Buktikan!
6.Peristiwa monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas bunyi-bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang melatarbelakanginya? Jelaskan dan berikan contoh!
7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut!
(a) auto mobil hanya disebut mobil
(b) bagai ini disebut begini
(c) al salam menjadi assalam
(d) mahardhika menjadi merdeka
(e) in-port menjadi impor

Uraian lebih lanjut silakan baca Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)