Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul masaIah‑masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentukan kata, penulisan, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah kebahasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.
Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema‑problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu
(1) problema akibat bentukan baru,
(2) problema akibat kontaminasi,
(3) problema akibat adanya unsur serapan,
(4) problema akibat analisis,
(5) problema akibat perlakuan kluster,
(6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
(7) problema akibat perlakuan bentuk majemuk.
Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.
A.Problema Akibat Bentukan Baru
Pada akhir‑akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk memberhentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesanakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani, misalnya dalam kalimat:
1)Direktur CV "Marga" telah memberhentikan sekretarisnya.
2) Apakah Saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahankan.
4) Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)Agar tidak semrawut, barang‑barang ini perlu dikesanakan.
6)Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di daerah‑daerah rawa.
9)Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap sesama.
10)Menurut cerita barang siapa minum air surgawi akan awet muda.
Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: "Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?". Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secara screntak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap. Pertama, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber‑} dan henti. Lalu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN‑} dan {‑kan} (sebagai sumulfiks), sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu juga konstruksi memberlakukan. Pertamatama, konstruksi itu dibentuk dari ber‑ dan laku. Dari bentuk berlaku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men‑N} dan ‑kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada diagram berikut.
memberhentikan memberlakukan
meN‑kam // berhenti meN-kan // berlaku
ber‑ // henti ber- // laku
Dari diagram itu juga terlihat bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah berhenti, sedangkan ben-tuk dasar konstruksi memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah bentuk asal dari konstruksi itu. Dengan demikian, walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu tetap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruksi diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakangan? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pembentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Demikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke samping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begitu juga bentuk dasar suatu konstruksi dapat berbentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun frase. (Sebagai pengecekan, silakan diteliti kata‑kata yang telah mengalami proses morfologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk baru sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks {‑(n)isasi} berasal dari bahasa Inggris ‑(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya modernisasi ("modernization"), standardisasi (standardization"), mekanisasi ("mechanization"), berarti 'hal yang berhubungan dengan bentuk dasarnya' yang berfungsi pembendaan secara abstrak. Setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, afiks {‑(n)isasi} dicoba digabungkan dengan bentuk dasar bahasa Indonesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan bentuk dasar turi, lele, pompa, sehingga timbullah konstruksi turinisasi, lelenisasi, pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan apabila timbul konstruksi baru selain ketiga konstruksi di atas. (Apakah Anda menemukannya?)
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan surgawi. Konstruksi itu mengalami proses morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks {‑wi} pada bentuk dasar manusia dan surga. Kita tahu bahwa morfem afiks {‑wi} atau {‑i }apabila bentuk dasarnya berakhir dengan konsonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia (Mly) dan surga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk dasarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insani, dan alami, yang masing‑masing diadaptasikan dari "duniyawiyyun" "ukhrawiyyun", "insaniy-yun"'dan "alamiyyun".
Ternyata, akhiran ‑wi (‑i) yang berasal dari bahasa Arab itu, setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, diperlakukan sebagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks ‑wi (‑i) sekarang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain dari bahasa aslinya (bahasa Arab) sebagaimana contoh di atas. Sehubungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks ‑wi dan ‑i. Afiks ‑wi dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan vokal, sedangkan afiks ‑i dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan. Oleh sebab itu, konstruksi *gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salah sebab afiks *‑ni tidak ada. Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani. Bentuk itu dikiranya bersufiks *‑ni, padahal sebenarnya bersufiks ‑i. Dengan demikian, yang benar adalah gerejawi sebab bentuk dasarnya, gereja, berakhir dengan vokal.
B.Problema Akibat Kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus berdiri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, konstruksi itu menjadi kacau atau rancu artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diperlebarkan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuraduk-kan konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing‑ masing berarti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan juga dianggap sebagai konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk dasar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k]‑lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem {meN‑kan}. jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran konstruksi dipelajari dan diajarkan, yang masing‑masing mempunyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pemakai bahasa Indonesia harus mengetahui konstruksi yang semestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia harus juga mengetahui konstruksi‑konstruksi yang tergolong rancu dan mengetahui juga alasannya. Sebab, logis sekali, jika ingin mengetahui yang benar, orang harus mengetahui pula yang salah. Dengan cara itu, ia akan lebih jeli dan cermat memilih, menggunakan, dan menerangkan setiap bentukan kata.
C.Problem Akibat Unsur Serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pada kekacauan dan keragu‑raguan pemakaian bentuk datadata, datum‑datum, data, datum; fakta‑fakta, faktum‑faktum, fakta, faktum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus. Kita tahu bahwa kata data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus berasal dari bahasa Latin, yang masing‑masing pasangan kata itu berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pasangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan alumni, sedangkan bentuk tunggalnya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: "Apa bentuk tunggalnya apabila yang terserap hanya bentuk jamaknya?". Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi bagi pengamat bahasa pertanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, walaupun yang diserap bentuk jamaknya, ia langsung dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta, dan alumni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruksi data‑data, fakta‑fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta dianggap benar, sedangkan konstruksi *datum‑datum, *faktumfaktum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin sekalian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam bahasa asingnya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ulama, arwah berarti 'jamak'.
Bagaimana dengan konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan, mendominir, dan melegalisir? (Silakan disiasati!)
D.Problema Akibat Analogi
Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat penting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pemakaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase, dan kata beranalogi pada contoh yang telah ada atau yang telah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk ketidakadilan, kita dapat membentuk konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan, kita dapat membentuk konstruksi dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersatu yang berarti 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk konstruksi pemerhati ('yang memperhatikan'); dan, dengan adanya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh (yang masing‑masing berarti 'orang yang menyuruh' dan 'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan petatar, pendaftar dan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, adalah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap bentuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya. Misalnya, kata pihak dijadikan *fihak, kata *anggota dijadikan anggauta, dan kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
Kata pihak dijadikan *fihak, didasarkan contoh bahwa bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Dengan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat dikembalikan menjadi fikir, faham, dan fatsal. Pengembalian ini benar sebab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari bahasa Arab. Kata pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab, sehingga juga dikembalikan menjadi *fihak. Padahal, kata pihak tidak berasal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Melayu. Oleh sebab itu, kata *fihak dianggap sebagai hasil analogi secara salah. Dengan demikian, kata pihak‑lah yang benar.
Begitu juga kata anggota yang dijadikan *anggauta. Orang menganggap bahwa kata anggota sebagai hasil sandi dari kata anggauta sehagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi dari kata taufan dan taubat padahal tidak demikian. Kata anggota bukan hasil sandi kata *anggauta, tetapi kata itu memang asli. Oleh sebab itu, *anggauta dianggap hasil analogi yang salah. Yang benar adalah anggota.
Kata serapan pun ada yang dianalogikan secara salah. Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai akibat analogi yang salah terhadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompetisi; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhir dangan ‑if biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhir dengan ‑si biasanya berkelas kata benda. Dikira juga bahwa bentuk alternatif (karena berakhir dengan ‑if) berkelas kata sifat, sehingga apabila dibentuk ke kelas kata benda akan menjadi *alternasi. Padahal, itu tidak demikian. Kata alternatif, yang berarti 'pilihan', sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu dibendakan lagi menjadi *alternasi. Dengan demikian, pemakaian kata alternatif pada kalimat Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. adalah sudah benar.
E.Problema Akibat Perlakuan Kluster
Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema tersendiri dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal kluster. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata‑kata ini, apabila dibentuk dengan afiks yang bernasal, misalnya {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}, akan menimbulkan problem: "Apakah konsonan awalnya diluluhkan sebagai-mana konsonan k, p, t, s, dalam kata bahasa Indonesia asli?". Manakah yang benar dari deretan berikut?
I II
memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
pentransferan penransferan
mensponsori menyponsori, menyeponsori
pensponsoran penyponsoran, penyeponsoran
menstandarkan menytandarkan, menyetandarkan
penstandaran penytandaran, penyetandaran
mengklasifikasikan menglasifikasikan
pengklasifikasian penglasifikasian
mengkritik mengritik
pengkritikan pengritikan
Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a) bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan k, p, t, s);
b)apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyu-litkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
c)ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berkluster.
F.Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, yaitu berkenan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam bahasa lndonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah "Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk‑bentuk bahasa Indonesia asli?". Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan memarkir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui sifat atau kondisi bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua:
(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya, dan
(2)bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya.
Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Berdasarkan rambu‑rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau belum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah digabung dengan {meN‑kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sistem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}. Bagaimana dengan bentuk suplai, parkir, dan kalkulasi? Silakan disiasati!
G.Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat di sini adalah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk majemuk yang unsur‑unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mungkin disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur pertama dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat kedua menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan negara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari dua pendapat itu? Kita tahu bahwa suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur‑unsurnya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila unsur‑unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu pendapat yang memperlakukan unsur‑unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Fenomena ini sebagai tanda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat komunikasi bagi pemakainya. Yang penting adalah setiap kali ada fenomena bentukan baru kita harus bisa menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita bersikap normatif dan preskriptif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang muncul.
Uraian lebih lanjut silakan baca Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ass wr wb. Gimana kabarnya? Kangen sekali aku dengan dinamika bisnisnya. Berkali-kali aku ke Ciliwung tidak pernah ketemu. Pak Masnur apa pindah rumah? Kalau pindah kemana? Rupanya Bapak masih produktif menulis buku. untuk buku pelajaran giman apa masih digarap? Pingin sekali silaturrohmi ke Bapak tapi itulo kok belum ditakdir ketemu. YA3 gimana masih berkibar kan? Mudah-mudahan berkibar makin tinggi. Semoga tetap sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Alloh swt.
BalasHapusWassalamualikum wr wb.
Anis Muzakki - Bangil
terimakasih, tulisan bapak sangat membantu saya dalam memahami morfologi bahasa indonesia, semoga selalu dirahamati Allah SWT, amin
BalasHapussaya masih bingung, mengapa tidak semua kata kerja dalam kalimat aktif menggunakan afiksasi yang sama, misalnya "me-kan". Bolehkah kita mengatakan: membawakan, menangiskan, mengulangkan, menyapukan, membantukan, memakankan, menyetirkan, menolongkan, dsb?
BalasHapusTidak semua kalimat aktif ditandai dengan penggunaan afiksasi yang sama ada kata kerjanya. Sangat tergantung pada tipe bentuk dasarnya.
BalasHapusKita boleh mengatakan: "membawakan", "menangiskan", "mengulangkan", "menyapukan", "membantukan", "memakankan", dan "menyetirkan" tetapi berbeda maknanya (nosinya)dengan kata "membawa", "menangis", "mengulang", "menyapu", "membantu", "memakan", dan "menyetir". Tahu kan perbedaan nosinya pasangan kata tersebut?
Asslmalkum pak..
BalasHapussaya Faiza, mahasiswi bapak di UM.
hendak menanyakan mengenai tugas akhir makalah fonologi, apakah harus dalam bentuk problematika atau boleh hanya sekedar analisis??