05 Maret 2009

PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dika­ta­kan mempunyai sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul ma­saIah‑masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bu­nyi, bentukan kata, penulisan, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai baha­sa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah keba­hasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.

Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema‑problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu

(1) problema akibat bentukan baru,
(2) pro­b­lema akibat kontaminasi,
(3) problema akibat adanya unsur serapan,
(4) problema akibat analisis,
(5) problema akibat perlakuan kluster,
(6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
(7) problema akibat perlakuan bentuk majemuk.

Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.

A.Problema Akibat Bentukan Baru
Pada akhir‑akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai ha­sil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk member­­hentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesa­nakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani, misal­nya dalam kalimat:

1)Direktur CV "Marga" telah memberhentikan sekretarisnya.
2) Apakah Saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah mem­berlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahan­kan.
4) Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)Agar tidak semrawut, barang‑barang ini perlu dikesanakan.
6)Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di da­e­rah‑da­e­rah ra­wa.
9)Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap se­sama.
10)Menurut cerita barang siapa minum air surgawi akan awet muda.

Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak di­te­mu­kan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: "Apa­kah di­­benarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?". Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas pro­ses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secara screntak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap. Perta­ma, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber‑} dan henti. La­lu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN‑} dan {‑kan} (sebagai sumulfiks), sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu juga konstruksi memberlakukan. Perta­ma­tama, konstruksi itu dibentuk dari ber‑ dan laku. Dari bentuk ber­­­laku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men‑N} dan ‑kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada diagram beri­kut.


memberhentikan memberlakukan


meN‑kam // berhenti meN-kan // berlaku


ber‑ // henti ber- // laku


Dari diagram itu juga terlihat bahwa bentuk dasar konstruk­si mem­berhentikan adalah berhenti, sedangkan ben-tuk dasar kon­struk­si memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah bentuk asal dari konstruksi itu. De­­­ngan demikian, walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu te­tap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruksi diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakang­­an? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pem­­bentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. De­mikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk ba­ru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke sam­ping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfe­mis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begi­­tu juga bentuk dasar suatu konstruksi dapat ber­bentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun frase. (Sebagai pe­nge­cek­an, silakan diteliti kata‑kata yang telah meng­­alami proses mor­fologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk ba­ru sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks {‑(n)isasi} berasal dari ba­hasa Inggris ‑(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya modernisasi ("modernization"), standardisasi (standar­di­za­ti­on"), me­kanisasi ("mechanization"), berarti 'hal yang berhu­bunga­n dengan bentuk dasarnya' yang berfungsi pembendaan secara abstrak. Setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, afiks {‑(n)isasi} di­coba digabungkan dengan bentuk dasar baha­sa Indo­nesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan ben­­tuk da­sar turi, lele, pompa, sehingga timbullah konstruksi tu­ri­nisasi, lelenisasi, pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemung­­kinan apabila timbul konstruksi baru selain ketiga konstruksi di atas. (Apa­­kah Anda menemukannya?)
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan surgawi. Konstruksi itu mengalami pro­ses morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks {‑wi} pada bentuk dasar manusia dan surga. Kita tahu bahwa morfem afiks {‑wi} atau {‑i }apabila bentuk dasarnya berakhir dengan kon­sonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia (Mly) dan sur­ga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk da­sarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insani, dan alami, yang masing‑masing diadaptasikan dari "duni­ya­wiyyun" "ukhrawiyyun", "insaniy-yun"'dan "ala­miyyun".
Ternyata, akhiran ‑wi (‑i) yang berasal dari bahasa Arab itu, setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, diperlakukan se­­bagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks ‑wi (‑i) se­­karang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain dari ba­hasa aslinya (bahasa Arab) sebagaimana contoh di atas. Sehu­bungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks ‑wi dan ‑i. Afiks ‑wi dipakai pada bentuk da­sar yang berakhir dengan vokal, sedangkan afiks ‑i dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan. Oleh sebab itu, konstruksi *gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salah sebab afiks *‑ni tidak ada. Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani. Bentuk itu dikiranya bersufiks *‑ni, padahal sebenarnya bersufiks ‑i. Dengan demikian, yang benar adalah gerejawi sebab bentuk dasarnya, gereja, berakhir dengan vokal.

B.Problema Akibat Kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus ber­diri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, kon­­struksi itu menjadi kacau atau rancu artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diper­le­bar­kan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuraduk-k­an konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing‑ masing ber­arti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan juga dianggap sebagai kon­struk­si yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruk­si mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk da­sar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k]‑lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem {meN‑kan}. jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran kon­struksi dipelajari dan diajarkan, yang masing‑masing mempu­nyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang ran­cu.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pe­makai bahasa Indonesia harus mengetahui konstruksi yang s­emestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia harus juga me­­ngetahui konstruksi‑konstruksi yang tergolong rancu dan me­ngetahui juga alasannya. Sebab, logis sekali, jika ingin me­nge­­­tahui yang benar, orang harus mengetahui pula yang salah. Dengan cara itu, ia akan lebih jeli dan cermat memilih, menggunakan, dan menerangkan se­tiap bentukan kata.

C.Problem Akibat Unsur Serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pa­da kekacauan dan keragu‑raguan pemakaian bentuk da­ta­data, datum‑datum, data, datum; fakta‑fakta, faktum‑faktum, fak­ta, fak­tum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus. Kita tahu bah­wa ka­ta data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus ber­asal dari bahasa Latin, yang masing‑masing pa­sangan kata itu berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pa­sangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan alumni, sedangkan bentuk tung­gal­­nya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: "Apa bentuk tunggalnya apa­bila yang terserap hanya bentuk jamaknya?". Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi bagi pengamat bahasa per­tanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, wa­lau­­pun yang diserap bentuk jamaknya, ia lang­sung dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta, dan a­lum­ni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruk­si da­ta‑data, fakta‑fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta di­anggap benar, se­dangkan konstruksi *datum‑datum, *fak­tum­fak­tum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin se­ka­lian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam bahasa asing­nya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ula­ma, arwah berarti 'jamak'.
Bagaimana dengan konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan, mendo­minir, dan melegalisir? (Silakan disiasati!)

D.Problema Akibat Analogi
Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa de­ngan menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat pen­ting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pema­kaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase, dan kata berana­logi pada contoh yang telah ada atau yang te­­­lah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk keti­dakadilan, kita dapat membentuk konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan, kita dapat membentuk konstruksi dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersa­tu yang berarti 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk kon­struksi pemerhati ('yang memperhatikan'); dan, dengan ada­nya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh (yang masing­‑ma­sing berarti 'orang yang menyuruh' dan 'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan pe­tatar, pendaftar dan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, ada­lah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap ben­tuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya. Misal­nya, kata pihak dijadikan *fihak, kata *anggota dijadikan angga­u­ta, dan kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
Kata pihak dijadikan *fihak, didasarkan contoh bahwa bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. De­ngan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat dikemba­likan menjadi fikir, faham, dan fatsal. Pengembalian ini benar se­bab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari ba­ha­­sa Arab. Ka­ta pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab, sehingga ju­ga dikembalikan menjadi *fihak. Padahal, kata pi­hak tidak ber­asal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Melayu. Oleh sebab itu, kata *fihak dianggap sebagai hasil analogi secara sa­lah. De­ngan demikian, kata pihak‑lah yang benar.
Begitu juga kata anggota yang dijadikan *anggauta. Orang meng­anggap bahwa kata anggota sebagai hasil sandi dari kata anggauta sehagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi da­ri kata taufan dan taubat padahal tidak demikian. Kata ang­­gota bukan hasil sandi kata *anggauta, tetapi kata itu memang as­li. Oleh sebab itu, *anggauta dianggap hasil analogi yang sa­lah. Yang benar adalah anggota.
Kata serapan pun ada yang dianalogikan secara salah. Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai akibat analogi yang salah ter­hadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompeti­si; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhir dangan ‑if biasa­nya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhir dengan ‑si biasa­nya berkelas kata benda. Dikira juga bahwa bentuk alternatif (karena berakhir dengan ‑if) berkelas kata sifat, sehing­ga apabila dibentuk ke kelas kata benda akan menjadi *alternasi. Padahal, itu tidak demikian. Kata alternatif, yang berarti 'pilihan', sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu di­bendakan lagi menjadi *alternasi. Dengan demikian, pemakaian ka­ta alternatif pada kalimat Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. adalah sudah benar.

E.Problema Akibat Perlakuan Kluster
Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema ter­sen­diri dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klus­ter. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, pro­kla­masi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata‑kata ini, apabila dibentuk de­­ngan afiks yang bernasal, misalnya {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}, akan menimbulkan problem: "Apakah konsonan awal­­nya diluluhkan sebagai-mana konsonan k, p, t, s, dalam ka­ta baha­sa Indonesia asli?". Manakah yang benar dari deretan berikut?


I II

memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
pentransferan penransferan
mensponsori menyponsori, menyeponsori
pensponsoran penyponsoran, penyeponsoran
menstandarkan menytandarkan, menyetandarkan
penstandaran penytandaran, penyetandaran
mengklasifikasikan menglasifikasikan
pengklasifikasian penglasifikasian
mengkritik mengritik
pengkritikan pengritikan


Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung me­milih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a) bentuk serapan di atas berbe­da sifatnya dengan bentuk da­sar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal de­ngan k, p, t, s);
b)apabila diluluhkan, kemungkinan be­sar akan menyu-litkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
c)ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesa­lahpa­ha­man arti.

Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berkluster.

F.Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, ya­itu berkenan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam baha­sa lndonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah "Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang se­lama ini diterapkan dalam bentuk‑bentuk bahasa Indonesia asli?". Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaing­an pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan me­markir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruk­si yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui si­­fat atau kondisi bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serap­an dapat dikelompokkan menjadi dua:

(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga su­­dah tidak terasa lagi keasingannya, dan
(2)bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa ke­asingannya.

Bentuk se­rapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara pe­nuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses mor­­fologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Ber­dasarkan rambu‑rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau be­lum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah dig­abung dengan {meN‑kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sis­tem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk da­sar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN‑(kan/i)} dan {peN‑(an)}. Bagaimana dengan bentuk sup­lai, parkir, dan kalkula­si? Silakan disiasati!

G.Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat di sini ada­lah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungja­wab­an dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan ne­gara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu ter­­­­lihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan ben­­­­tuk majemuk yang unsur‑unsurnya dianggap renggang. Pen­­­dapat pertama menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mung­k­in disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur per­ta­ma dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat ke­dua meng­anggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga ne­gara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan di­si­si­pi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan ne­gara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari dua pendapat itu? Kita tahu bahwa su­atu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur‑un­sur­nya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila unsur‑unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu penda­pat yang memperlakukan unsur‑unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Fenomena ini sebagai tanda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat komunikasi bagi pemakainya. Yang penting adalah setiap kali ada fenomena bentukan baru kita harus bisa menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita bersikap normatif dan preskriptif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang muncul.

Uraian lebih lanjut silakan baca Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)

5 komentar:

  1. Ass wr wb. Gimana kabarnya? Kangen sekali aku dengan dinamika bisnisnya. Berkali-kali aku ke Ciliwung tidak pernah ketemu. Pak Masnur apa pindah rumah? Kalau pindah kemana? Rupanya Bapak masih produktif menulis buku. untuk buku pelajaran giman apa masih digarap? Pingin sekali silaturrohmi ke Bapak tapi itulo kok belum ditakdir ketemu. YA3 gimana masih berkibar kan? Mudah-mudahan berkibar makin tinggi. Semoga tetap sehat walafiat dan selalu dalam lindungan Alloh swt.
    Wassalamualikum wr wb.
    Anis Muzakki - Bangil

    BalasHapus
  2. terimakasih, tulisan bapak sangat membantu saya dalam memahami morfologi bahasa indonesia, semoga selalu dirahamati Allah SWT, amin

    BalasHapus
  3. saya masih bingung, mengapa tidak semua kata kerja dalam kalimat aktif menggunakan afiksasi yang sama, misalnya "me-kan". Bolehkah kita mengatakan: membawakan, menangiskan, mengulangkan, menyapukan, membantukan, memakankan, menyetirkan, menolongkan, dsb?

    BalasHapus
  4. Tidak semua kalimat aktif ditandai dengan penggunaan afiksasi yang sama ada kata kerjanya. Sangat tergantung pada tipe bentuk dasarnya.
    Kita boleh mengatakan: "membawakan", "menangiskan", "mengulangkan", "menyapukan", "membantukan", "memakankan", dan "menyetirkan" tetapi berbeda maknanya (nosinya)dengan kata "membawa", "menangis", "mengulang", "menyapu", "membantu", "memakan", dan "menyetir". Tahu kan perbedaan nosinya pasangan kata tersebut?

    BalasHapus
  5. Asslmalkum pak..
    saya Faiza, mahasiswi bapak di UM.
    hendak menanyakan mengenai tugas akhir makalah fonologi, apakah harus dalam bentuk problematika atau boleh hanya sekedar analisis??

    BalasHapus