STRATEGI KOMENTAR REDAKSI
PADA RUBRIK “INTROSPEKSI” RADAR
DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME-SIMBOLIK
Oleh: Masnur Muslich
ABSTRACT
This study is focus on the editorial comment’s strategy based on the phenomena which was presented in “Instrospeksi” (Instrospection) rubric (RI) of Radar Malang Newspaper. Through their premises that werw developed from the theory of symbolic interactionism of H. Blumer, at least they could find 12 comment strategies that are: allusion comment, comparation comment, cause comment, result comment, warning comment, condition comment, contradiction comment, challenge comment, purpose comment, expectation comment, stability comment, and conclusion comment. All of these comments which contain critic are base on the contextual understanding against the target phenomena. Therefore, if the reader wants to comprehend the RI discourse, he or she should also understand the context fully. The issuing of this critical RI in the mass media is considerable both for the low-level society to give the critical opinion and for the reader to learn how to think critically.
Kata-kata kunci: stategi komentar, interaksionisme-simbolik, wacana kritis, pemaknaan, konteks,
Rubrik “Introspeksi” (RI) pada Radar Malang (RM) merupakan wacana jenis tertentu yang diciptakan untuk memberikan “warna khas”.
Rupanya tidak hanya RM saja yang memunculkan rubrik ini. Harian lain juga mempunyai rubrik yang sejenis dengan RI, misalnya “Mr. Pecut” pada Jawa Pos, “Ebes Ngalam” pada Malang Pos, “Mr. Brom“ pada Radar Bromo, dan “Kesleo Lidah” pada Rakyat Merdeka. Rubrik-rubrik ini pada dasarnya mengajak pembaca “berdialog kritis” dengan fenomena atau realitas sosial yang lagi menjadi perhatian publik, lewat pancingan yang berupa komentar “nakal” redaksi. Penampilan “wacana kritis” yang terkesan jor-joran dan tanpa beban ini amat berkait dengan situasi reformasi yang memungkinkan institusi media untuk membidik dan mengungkap secara bebas berbagai ketimpangan sosial yang sebelumnya selalu ditutup-tutupi. Dalam posisi ini, pers melakukan peran pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.2
RI yang setiap edisinya ditempatkan di pojok kiri-bawah halaman pertama RM ini berisi tampilan fenomena aktual yang menjadi perhatian publik dan komentar singkat redaksi. Fenomena yang dikomentari tidak terbatas pada bidang tertentu, tetapi menjamah pada multi bidang, mulai dari bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, sampai dengan bidang keamanan. Bidang mana yang menjadi “objek bidikan” pada edisi tertentu, amat bergantung pada keaktualan dan perhatian publik. Sementara itu, isi setiap komentarnya amat kontekstual sehingga “maknanya” pun tidak mudah dipahami kalau pembaca tidak mengetahui konteks yang melatarbelakanginya..3
Sebagai ilustrasi awal, ketiga wacana berikut membuktikan bahwa fenomena yang diangkat pada RI merupakan fenomena yang sedang menjadi sorotan dan perhatian publik.
(1) Anjal ngamen di dewan.
Jangan saingan ah … jadi malu nih. (RM, 1 Desember 2002)
(2) Dikritik LSM, pemkot tuding hanya sensasi.
Bela diri ala Orde Baru. (RM, 26 Januari 2003)
(3) Walikota usulkan kurikulum lingkungan.
Jangan lupa kurikulum moral pak wali. (RM, 4 Januari 2003)
Fenomena (1) “Anjal ngamen di dewan.” cukup menjadi perhatian publik karena selama ini belum pernah terjadi anak jalanan berani melakukan aksi ngamen di hadapan dewan “yang terhormat” itu. Fenomena ini dipahami redaksi sebagai sindiran yang ditujukan kepada anggota dewan yang selama ini dinilai banyak “meminta” atau “menuntut” kepada eksekutif hanya untuk kepentingan pribadi. Atas pemahamn ini, muncullah komentar “Jangan saingan ah … jadi malu nih.”.
Fenomena (2) diangkat redaksi karena pada akhir-akhir ini pemkot Malang selalu mengelak dengan alasan yang kurang bisa diterima publik ketika “sepak terjang” dan kebijakannya dikritik LSM. Sebaliknya, pemkot justru menuduh balik bahwa kritikan LSM hanyalah mencari sensasi dan popularitas belaka. Oleh redaksi, tuduhan itu dipahami sebagai langkah membela diri yang tidak jauh berbeda – bahkan sama – dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan pemerintahan Orde Baru. Pemahaman ini terlihat pada komentar “Bela diri ala Orde Baru.”
Fenomena (3) terjadi pada pemkot Batu. Setelah terjadi musibah banjir dan longsor di beberapa daerah yang mestinya tidak perlu terjadi, wali kota Batu mengusulkan agar segera disusun kurikulum lingkungan untuk diterapkan di sekolah. Usulan ini dipahami selain sebagai langkah yang terlambat juga sebagai langkah yang hanya memperhatikan permasalahan fisik. Sementara itu, masalah mental, terutama mental pejabat, kurang diperhatikan. Apalah artinya kesadaran lingkungan kalau tidak diikuti dengan kesadaran mental pejabat. Oleh redaksi, pemahaman ini diungkapkan dalam komentar yang berbentuk peringatan “Jangan lupa kurikulum moral pak wali”.
Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa komentar yang diungkapkan redaksi tidak serta-merta, tetapi diawali dengan “pemaknaan” atas fenomena aktual yang dikomentarinya. Dengan demikian, fenomena – alih-alih disebut realitas sosial – ini diposisikan sebagai simbol yang perlu ditafsirkan maknanya. Setelah makna atas fenomena diperoleh, barulah diresponsnya dalam bentuk komentar verbal. Interaksi inilah yang menjadi suguhan tetap harian RM kepada pembacanya yang dikemas dalam RI.
Bagaimana redaksi menafsirkan makna fenomena terpilih – karena dianggap menjadi perhatian publik – pada RI dan bagaimana pula strategi komentarnya inilah yang menjadi sasaran penelitian ini. Tentu saja tidak menutup kemungkinan diterapkan cara dan model lain untuk menyiasari RI ini. Tetapi, untuk penelitian kali ini, hanya membatasi dua hal tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif-hermeneutis. Dinyatakan demikian karena penelitian ini berupaya menasfirkan makna komentar verbal redaksi atas fenomena aktual yang menjadi perhatiannya.4
Fonema dan komentar yang menjadi data penelitian ini adalah fenomena dan komentar redaksi yang termuat dalam RI-RM pada edisi Agustus 1002 sampai dengan Maret 2003. Karena setiap edisi pada RI-RM termuat tiga fenomen dan komentar redaksi, maka – secara keseluruhan – data penelitian ini berjumlah 720 kutipan fonema dan komentar redaksi.
Selnjutnya, data yang terkumpul dianalisis dengan mengikuti langkah-langkah berikut. Pertama, memahami konteks setiap fenomena yang menjadi perhatian redaksi. Pemahaman konteks setiap fenomena yang muncul akan memberikan wawasan yang relatif utuh dan komprehensif terhadap fenomena tersebut (Lihat Sumaryono, 1999:26-29; Eriyanto, 2001: 8-10). Kedua, menentukan makna setiap fenomena sebagaimana yang ditafsirkan redaksi. Langkah ini disiasati lewat teori interaksionisme-simbolik yang dikembangkan H. Blumer (1969:2).5 Teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
Ketiga premis tersebut bisa dipahami lewat gambaran sederhana berikut. Ketika tiga orang yang berbeda profesi dihadapkan pada sebidang tanah lapang di tengah kota, mereka akan “memaknakan”-nya secara berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman masing-masing. Orang pertama, selaku pengusaha, berpikir bahwa tanah lapang tersebut cocok untuk dibangun pertokoan. Pemikiran ini didasarkan atas pengalaman bahwa setiap pertokoan yang berada di tengah kota pasti laku keras. Berbeda dengan orang pertama, orang kedua, selaku pendidik, mempunyai pemikiran bahwa tanah lapang di tengah kota sangat layak untuk didirikan sekolah plus. Apalagi di kota ini sampai sekarang belum memiliki sekolah yang sudah lama diidam-idamkan masyarakat. Orang ketiga, olahragawan, lain lagi. Ia berpikir bahwa tanah lapang ini cocok untuk dibangun pusat kesegaran jasmani yang representatif. Masyarakat tentu akan memanfaatkan semaksimalnya, sebab selain mudah dijangkau, juga lebih memenuhi selera.
Pemikiran yang berbeda-beda tersebut pada dasarnya adalah upaya pemberian makna atas sesuatu yang dihadapinya. Apabila diekspresikan, “pemberian makna” atas sesuatu ini bisa dalam bentuk komentar. Oleh karena itu, komentar – pada dasarnya – adalah pendapat ringkas yang diungkapkan dalam bentuk ucapan atau tulisan tentang peristiwa, atau dalam bentuk penjelasan atau kritik tentang sesuatu (kejadian, hal), pembicaraan, gossip, dan sebagainya. Sementara itu, bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer (1969:5), sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut.
Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas susuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer (1969: 81) proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu.
Lebih jauh Blumer (1969: 78) menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Dalam wacana RI – yang menjadi sasaran telaah ini – “penafsiran simbol” ini terlihat pada komentar-komentar redaksi atas fenomena-fonomena yang dieksposnya.
Apabila teori interaksionisme-simbolis H. Blumer tersebut diaplikasikan pada wacana RI pada RM, bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, redaksi berhadapan dengan serangkaian fenomena sebagai realitas sosial yang akan menjadi objek komentarnya. Dari berbagai fenomena yang dihadapi, dipilihlah fenomena yang dianggap aktual dan menjadi perhatian publik. Pada tahap ini redaksi sudah mulai “berinteraksi” dengan fenomena yang dipilih. Ia memberikan makna, nilai, dan memutuskan “posisi” fenomena tersebut sebagai dasar penyikapan berupa respons verbal.
Olah pikir redaksi ini selalu dikaitkan dengan konteks yang melingkupinya. Oleh karena itu, ketika memaknakan, menilai, dan memposisikan fenomena yang dihadapi, ia dipersyaratkan mempunyai wawasan tertentu atas fenomena tersebut. Berdasarkan “pemahaman” inilah, selanjutnya ia memberikan respons verbal dalam bentuk komentar. Arah mana dan jenis apa komentar yang dipilih amat bergantung pada pertimbangan redaksi.
Ketiga, menentukan dan mengklasifikasikan strategi komentar redaksi atas setiap fenomena aktual yang menjadi perhatiannya. Dari langkah ini akan diketahui jenis-jenis strategi komentar apa saja yang diterapkan redaksi ketika memahami fenomena, dan rasionalisasi antara “pemahaman fenomena” dan “komentar” redaksi.
Data yang tercantum dalam analisis ini merupakan representasi dari data sejenis, yang didasarkan pada kesamaan kategori. Dengan demikian, tidak perlu pencantuman semua data pada pembahasan ini.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
RI-RM sebagai Wacana Kritis
RI menjadi rubrik tetap pada RM sejak Agustus 2002. Rubrik yang menampilkan “interaksi” antara fenomena aktual dan komentar singkat redaksi ini cukup menggelitik pembaca. Betapa tidak? Selain isi komentarnya “memaksa” pembaca untuk berpikir kritis, juga mengandung sentilan, sindiran, kritikan kepada banyak sasaran, walaupun dikemas dalam suasana santai dan guyonan. Oleh karena itu, istilah “guyon pari kena” (bergurau tapi tetap mengenai sasaran) dan “sersan” (serius tapi santai) kiranya cocok menjadi julukan RI ini.
Fenomena yang diangkat redaksi untuk dijadikan sasaran komentarnya adalah fenomena yang aktual dan yang menjadi perhatian publik. Keaktualannya terlihat pada selang waktu kejadian yang baru saja (satu atau dua hari) berlangsung, sedangkan “perhatian publik” terlihat pada maraknya kejadian tersebut dibicarakan publik. Kriteria ini dipegang secara konsisten oleh redaksi.
Bertolak dari namanya, yaitu “instrospeksi”, kehadiran RI ini tentunya dimaksudkan sebagai sarana mawas diri bagi siapa saja yang kena kritik. Sebagai media independen, kekritisan redaksi ini layak dipahami sebagai kritik yang tanpa pamrih, objektif,4 6
dan membangun. Oleh karena itu, akan salahlah apabila pihak yang kena kritik dalam RI ini emosi karena merasa tersinggung, apalagi menggugatnya lewat jalur hukum.
Sebagai wacana kritis, untuk memahami RI ini pembaca – setidak-tidaknya peneliti sendiri – juga dituntut memahami konteks fenomena yang menjadi sasaran komentar redaksi dan mengikuti pola pikir redaksi. Tanpa demikian, mustahil pembaca bisa memahaminya. Sebagai bukti perlunya pemahaman konteks fenomena dan pola pikir redaksi bisa dijelaskan di bawah ini.
RI pada RM edisi 25 Agustus 2002 memuat fenomena dan komentar sebagai berikut.
Pelacur intelektual tak bisa dihukum.
Namanya saja intelek.
Secara redaksional, fenomena tersebut bisa dimengerti. Tetapi, apa sebenarnya yang dimaksud “pelacur intelektual” pada fenomena tersebut, perlu diketahui konteksnya terlebih dahulu. Pembaca yang tidak mengetahui konteksnya tentu tidak akan memahaminya. Fenomena tersebut diangkat redaksi setelah ditemukan kasus duplikasi penyusunan skripsi oleh mahasiswa PTS tertentu di Malang. Dikatakan duplikasi karena topik dan isinya sama, walaupun sasarannya berbeda. Ini berarti, mahasiswa tersebut menjiplak skripsi mahasiswa lain. Agar tidak sama persis, sasaran penelitiannya diganti dengan sasaran lain. Atas kasus ini, berbagai komentar dari kalangan perguruan tinggi bermunculan. Rektor Unibraw, misalnya, berkomentar bahwa ia sendiri tidak menjamin bahwa skripsi yang ditulis oleh mahasiswanya orisinal. Kalau toh terjadi, kata pengamat pendidikan, “pelacur intelektual” ini tidak bisa dijerat secara hukum karena undang-undang kita belum mengaturnya. Atas kasus yang menghebohkan kalangan kampus inilah, redaksi RI mengangkatnya sebagai fenomena aktual “Pelacur intelektual tak bisa dihukum”.
Atas fenomena tersebut, redaksi meresponsnya lewat komentar Namanya saja intelek. Isi komentar yang mungkin di luar perkiraan ini juga perlu disiasati pembaca dengan mengikuti pola pikir redaksi. Kalau pembaca mengedepankan pikiran sendiri, komentar ini tentu tidak akan berarti. Bahkan, mungkin tidak bermakna. Tetapi, kalau pembaca meleburkan diri ke dalam pola pikir redaksi, akan diperolah – setidak-tidaknya – pemahaman sebagai berikut. Akhir-akhir ini, seseorang yang layak menyandang julukan “intelek” justru sering bermain-main dengan hukum. Baginya, hukum bisa diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Tindakan yang jelas-jelas salah bisa dibenarkan dengan dalih seolah-olah rasional. Sebaliknya, tindakan yang jelas-jelas benar bisa disalahkan juga dengan dalih seolah-olah rasional. Inilah yang sering terjadi saat ini. Dengan demikian, komentar redaksi tersebut pada dasarnya mengandung makna yang cukup dalam.
Strategi Komentar Redaksi pada RI
Komentar redaksi atas fenomena aktual yang eksposnya pada dasarnya merupakan representasi pemahaman redaksi terhadap fenomena tersebut. Dengan demikian, dengan menyiasati strategi komentar redaksi ini akan diperoleh pola-pola pemahaman redaksi terhadap fenomena sasaran. Berdasarkan data yang terhimpun, strategi komentar redaksi pada RI minimal dapat diklasifikasikan menjadi dua belas jenis, yaitu (1) komentar sindiran, (2) komentar perbandingan, (3) komentar sebab, (4) komentar akibat, (5) komentar peringatan, (6) komentar persyaratan, (7) komentar kontras, (8) komentar tantangan, (9) komentar tujuan, (10) komentar harapan, (11) komentar pemantapan, dan (12) komentar penyimpulan. Kedua belas strategi komentar tersebut, terurai berikut ini.
Komentar Sindiran
Komentar sindiran ini berisi ungkapan yang bertujuan mengkritik (mencela, mengejek) pihak lain secara tidak langsung, sebagai respons atas fenomena yang dibidiknya. Ketidaklangsungan ini terlihat pada “pengalihan” tiba-tiba dari konteks yang sebenarnya. Perhatikan data (4) dan (5) berikut ini.
(4) Lebaran plaza tetap buka.
Cari ganti THR buruh. (RM, 2 Desember 2002)
5) Siaga I belum dicabut.
Kejar bintang ndan. (RM, 3 Desember 2002)
Fenomena pada data (4) senyatanya merupakan hal yang biasa. Tetap dibukanya plaza pada lebaran merupakan kesempatan baik untuk mengais keuntungan. Oleh redaksi, pemerolehan keuntungan ekstra pada hari lebaran ini dipahami sebagai cara baru untuk menutupi THR karyawan, lewat komentar singkat Cari ganti THR buruh. Ungkapan ini dimaksudkan untuk menyindir pengusaha plaza, dengan harapan; apakah tidak ada cara lain yang lebih bijak, yang tidak mengorbankan “hari baik” karyawan setahun sekali ini?
Fenomena pada data (5) cukup menjadi perhatian publik karena tidak segera dicabutnya status pengamanan pergantian tahun. Upaya preventif yang berlebih ini mestinya cukup dimaklumi karena suhu politik dan keamanan saat itu cukup panas seiring dengan telah terjadinya peristiwa pengeboman di Bali. Tetapi, oleh redaksi dipahami secara “berkelakar” yang bernada sindiran dengan ungkapan Kejar bintang ndan.
Komentar yang berjenis sindiran terlihat juga pada data (6), (7), dan (8) berikut ini.
(6) Sekali hujan Batu bakal tenggelam.
Kalau betul, proyek kompensasi berantakan. (RM, 12 Desember 2002)
(7) CJH jamaah haji turun drastis.
Takut ditanyai soal anggota dewan (RM, 13 Desember 2002)
(8) Soal selingkuh pemkab pasif.
Sudah merasakan ya (RM, 21 Desember 2002)
Dibanding dengan jenis komentar lainnya, komentar berjenis sindiran ini lebih banyak diterapkan redaksi pada RI. Dominasi jenis ini bisa dimaklumi karena tujuan utama munculnya RI (sebagaimana nama “instrospeksi”) adalah untuk mengkritisi fenomena sosial yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan harapan dan/atau idealisme publik.
Komentar Perbandingan
Komentar perbandingan berisi ungkapan yang mempersamakan antarfenomena. Pemersamaan ini dilakukan karena adanya kesejajaran atribut tertentu antara fenomena satu (yang dipersamakan) dan fenoema lain (yang mempersamakan). Data (9) dan (10) berikut merupakan contohnya.
(9) Belasan penjarah dikeler.
Kapan bos penjarah pak? (RM, 11 Februari 2003)
(10) Mahasiswa banyak yang ngompreng.
Wong yang ditiru wakil di dewan. (RM, 24 Januari 200)
Fenomena (9) mengungkap bahwa sebanyak belasan penjarah hutan telah dikeler (direkonstruksi) oleh pihak kepolisian. Pada sisi lain publik tahu bahwa penjarahan hutan dikoodinasikan oleh penyandang dana yang biasa disebut “bos”. Anehnya, “bos”-nya tidak pernah terungkap di permukaan, walaupun diindikasikan pihak kepolisian mengetahuinya. Padahal sama-sama penjarah. Bedanya, yang satu tenaga lapangan (suruhan), yang lain penyandang dana. Atas kenyataan inilah, redaksi memberikan komentar perbandingan dengan ungkapan Kapan bos penjarah pak?.
Fenomena (10) “Mahasiswa banyak ngompreng” cukup menarik perhatian publik kota Malang. Betapa tidak? Mahasiswa yang jauh-jauh ke Malang untuk menimba ilmu di perguruan tinggi yang disukainya – dan menjadi dambaan orang tua dan keluarganya -- tiba-tiba melakukan kegiatan “nista” hanya karena alasan finansial, yaitu kiriman orang tua tidak mencukupi kebutuhan dan seringnya keterlambatan pengiriman uang. Oleh redaksi, kata “ngompreng” dipahamai sebagai upaya sampingan dan ringan tetapi mendapatkan keuntungan sesuai target. Bertolak dari pengertian ini, redaksi mempersamakannya dengan langkah-langkah yang biasa dilakukan oleh anggota dewan, misalnya melakukan studi banding ke daerah lain untuk menghabiskan kelebihan anggaran. Atas pemahaman inilah, redaksi berkomentar Wong yang ditiru wakil di dewan.
Komentar pada data (11), (12), dan (13) berikut ini juga merupakan komentar berjenis perbandingan.
(11) Golkar Batu ancam jalur hukum.
Ikut jejak bosnya (RM, 22 Januari 200)
(12) Dua PKB Batu sama-sama puasa ngomong.
Kok malah ketularan Bu Mega, ya? (RM, 10 Januari 2003)
(13) Dalam semalam dua mobil dinas amblas.
Persis dengan kasus mobil dinas. (RM, 6 Januari 2003)
Komentar Sebab
Komentar sebab ini berisi ungkapan yang menyatakan asal-muasal terjadinya fenomena. Karena bernuansa kritik, sebab-sebab yang diungkapkan redaksi pun bersifat guyonan yang menggigit. Perhatikan data (14) dan (15) berikut.
(14) Pendemo banjir segel Balai Kota.
Diduga biang banjir. (RM, 31 Januari 2003)
(15) Sendang Biru terganjal keamanan.
Soalnya dekat Baghdad (RM, 15 Januari 2003)
Fenomena pada data (14) menjadi perhatian redaksi karena para pendemo masalah banjir sempat menyegel gedung Balai Kota. Apa kaitan banjir dengan Balai Kota? Secara langsung memang tidak ada. Penyebab langsung banjir biasanya adalah saluran air yang macet atau kurang mencukupi. Tetapi, sebagai penyebab tidak langsung, pejabat pemerintah yang bermarkas di Balai Kota tidak pernah melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi banjir. Kalau toh melakukan tindakan kuratif, hampir dipastikan terlambat. Atas pemahaman inilah, redaksi memberikan komentar Diduga biang banjir.
Mengacu pada data (15), Sendang Biru memang sudah lama diproyeksikan Pemkab Malang sebagai pelabuhan wisata seiring dengan pembangunan lintas selatan. Selain bertujuan untuk mendongkrak perekonomian masyarakat di wilayah Malang Selatan, juga untuk memberdayakan potensi Laut Selatan. Bagaimana nasib proyek tersebut? Ternyata sampai sekarang belum terwujud, walaupun investor sudah siap. Alasan yang disampaikan Bupati cukup mengagetkan, yaitu “terganjan keamanan”. Fenomena ini dipahami oleh redaksi sebagai keanehan. Kekuatan jenis apa yang mampu mengalahkan keamanan sehingga proyek Sendang Biru terhambat? Karena tidak transparan, redaksi memberikan komentar dengan ungkapan Soalnya dekat Baghdad. Kita tahu bahwa awal tahun 2003 ini kondisi kota Baghdad memang rawan keamanan karena Iraq masih di bawah ancaman Amerika Serikat dan sekutunya.
Komentar pata (16), (17), dan (18) berikut ini juga merupakan komentar berjenis sebab.
(16) Aremania cekal Deltransmania.
Khawatir terkena banjir. (RM, 14 Januari 2003)
(17) Dinas Pengairan gagal mencapai target.
Akibat terlalu basah. (RM, 10 Januari 2003)
(18) Lagi-lagi pemkab gerojok PGM.
Semakin besar dana, semakin besar … (RM, 7 Januari 2003)
Komentar Akibat
Kebalikan dari komentar sebab, komentar berjenis akibat ini berisi ungkapan yang menyatakan hasil, dampak, atau efek yang ditimbulkan atas fenomena yang menjadi bidikan redaksi. Sebagaimana pada komentar sebab, komentar akibat ini pun dinyatakan secara tidak langsung, dalam bentuk sindiran. Perhatikan data (19) dan (20) berikut.
(19) Tato bintang F4 digemari.
Lupakan kenaikan BBM. (RM, 13 Januari 2003)
20) Dua dewan yang jotosan besok diperiksa.
Yang menang boleh nantang Tyson. (RM, 17 Desember 2002)
Fenomena pada (19) mengekspos betapa artis F4 digemari kawula muda, termasuk tatonya sekalipun. Selain pertunjukannya selalu dipadati ribuan penonton, pernik-pernik yang berbau bintang F4 pun selalu laris manis. Idola baru ini seolah menghipnotis para kawula muda – termasuk mahasiswa – sehingga melupakan dampak bebijakan pemerintah yang dinilai memberatkan rakyat, yaitu kenaikan BBM. Fenomena ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar yang berjenis akibat Lupakan kenaikan BBM.
Fenomena pada data (20) mengangkat kasus akan diperiksanya (oleh pihak kepolisian) dua anggota dewan pemkod Malang yang adu fisik karena dipicu oleh rasa tersinggung ketika rapat pleno. Kejadian yang memalukan ini merupakan bukti bahwa ada anggota dewan – mudah-mudahan anggota dewan lain tidak demikian – yang masih suka mengedepankan “okol” daripada “akal”. Dus, yang dibanggakan adalah kekuatan fisiknya, bukan kekuatan nalarnya sebagaimana yang diharapkan rakyat yang diwakilinya. Ini berarti tidak jauh berbeda dengan seorang petinju. Fenomena ini dipahamai redaksi dengan memberikan komentar yang berjenis akibat – walaupun bernada sindiran – Yang menang boleh nantang Tyson.
Komentar pada data (21), (22), dan (23) berikut ini juga merupakan komentar berjenis akibat.
(21) Pemerintah kabupaten luncurkan situs.
Pasti tidak ada berita bancaan bobil. (RM, 14 September 2002)
(22) FPDI DPRD kabupaten legalkan lokalisasi.
Hore … banjir musim kemarau nih. (RM, 15 September 2002)
(23) Pejabat wajib di-fit and proper test.
Hasilnya, 99,9 persen tak layak. (RM, 14 September 2002)
Komentar Peringatan
Komentar berjenis peringatan ini berisi teguran atas fenomena yang menjadi bidikan redaksi. Kepada siapa teguran ini diarahkan, amat tergantung pada pemahaman dan penafsiran redaksi atas fenomena yang diangkatnya. Perhatikan data (24) dan (25) berikut ini.
(24) Rebosiasi selamatkan jutaan jiwa.
Jangan menunggu banjir dan longsor. (RM, 22 Desember 2002)
(25) Arema tour maut.
Awas kalo’ kalah lagi. (RM, 19 Januari 2003)
Fenomena pada data (24) mengangkat pernyataan walikota Batu bahwa rebosiasi bisa menyelamatkan jutaan jiwa. Pernyataan ini diungkapkannya ketika peresmian program “Menanam Sejuta Pohon” yang melibatkan ribuan orang. Pada sisi lain, program ini dilakukan setelah ada musibah banjir dan tanah longsor di wilayah Batu. Oleh redaksi fenomena yang berupa pernyataan walikota ini ini dipahami sebagai tindakan yang terlambat, dengan ungkapan peringatan Jangan menunggu banjir dan longsor.
Data (25) mengangkat kiprah kesebelasan Arema yang akhir-akhir ini reputasinya terus menurun. Dengan tekat “tour maut” diharapkan kesebelasan Arema rela berusaha all out untuk meraih kemenangan ketika bertanding di kandang lawan. Oleh redaksi, fenomena ini dipahami sebagai slogan yang bombastis, sehingga perlu ditanggapi dengan komentar peringatan Awas kalo’ kalah lagi.
Komentar pada data (26), (27), dan (28) berikut ini juga merupakan komentar berjenis peringatan.
(26) Gubernur puji Imam Kabul.
Jangan GR Pak, nanti keseleo. (RM, 18 Januari 2003)
(27) Demo BBM semakin memanas.
Awas jangan sampai terbakar. (RM, 15 Januari 2003)
(28) Guru SMK demo Kepsek.
Awas dituding pembunuhan karakter. (RM, 28 Januari 2003)
Komentar Syarat
Komentar berjenis syarat ini berisi tuntutan atau permintaan yang harus dipenuhi berkaitan dengan fenomena yang dibidiknya. Tuntutan atau permintaan ini tidak selalu bersifat “mengadakan” (dari tidak ada menjadi ada), tetapi bisa juga bersifat “mempertahankan” (tadinya ada tetap ada).
(29) Hari ini PKL dieksekusi.
Asal punglinya juga dieksekusi Pak Wali. (RM, 1 Desember 2002)
(30) Besok, ribuan Barisan Rakyat Malang turun.
Asal pulangnya tidak minta uang transport. (RM, 19 Januari 2003)
Fenomena pada data (29) mengangkat kasus eksekusi terhadap PKL di sekitar jantung kota Malang. Rencana ini sebenarnya sudah lama dicanangkan, tetapi selalu mengalami kegagalan. Hambatannya adalah selain menyangkut kehidupan ratusan keluarga, para PKL merasa membayar “pajak” secara periodik kepada petugas yang berseragam coklat – alih-alih disebut “pungli”. Oleh karena itu, mereka merasa berhak menempatinya. Apa lacur, karena perda menghendaki demikian, mau tidak mau kawasan-kawasan tertentu harus bebas dari PKL, yang akhirnya terjadilah eksekusi. Oleh redaksi MP, fenomena ini dipahami sebagai tindakan sepihak dan tidak menjamah akar permasalahan yang sebenarnya, dengan komentar berjenis syarat Asal punglinya juga diekskusi Pak Wali.
Fenomena pada data (30) mengekspos rencana demo Barisan Rakyat Malang sebagai protes kenaikan BBM, tarif listrik, dan tarif telepon. Anggota kelompok ini pada umumnya berasal dari para petani, pedagang rendahan, pengojek, yang kelas kehidupannya rendah. Dengan demikian, keikutsertaan mereka pada acara demo akan menjadi beban tersendiri, terutama masalah uang transport dan akomodasi. Dari mana mereka mendapatkannya? Oleh redaksi, fenomena ini dipahami sebagai tindakan yang memberatkan, dengan komentar berjenis syarat Asal pulangnya tidak minta uang transport.
Komentar pada data (31), (32), dan (33) berikut ini juga komentar berjenis syarat.
(31) Arema yakin sikap PKT.
Bonusnya meyakinkan tidak. (RM, 12 Januari 2003)
(32) 24 Pamain Arema siap tempur.
Asal gajinya tidak molor. (RM, 5 Januari 2003)
(33) PJTKI Malang dinilai aman.
Upetinya terus pasti semakin aman. (RM, 6 Agustus 2002)
Komentar Kontradiktif
Komentar kontradiktif ini berisi pernyataan yang berlawanan atau bertentangan dengan fenomena yang eksposnya. Komentar jenis ini dimaksud untuk memberikan wawasan kepada pembaca bahwa telah ada dua (atau lebih) fenomena yang berseberangan. Data (34) dan (35) membuktikan sinyalemen tersebut.
(34) Baidlowi: Operasi miras jangan seremonial.
Ribuan botol hancur, produksi jalan terus. (RM, 1 Desember 2002)
(35) Radio kampus tak lagi illegal.
Tapi tetap dibatasi. (RM, 14 Januari 2003)
Fenomena pada data (34) mengekspos pernyataan Baidlowi, anggota DPRD Pemkod Malang, bahwa operasi miras yang dilakukan Polresta Malang janganlah seremonial. Pernyataan yang bernada peringatan ini bisa dimengerti karena pada umumnya kegiatan “operasi miras” – yang mestinya tujuan utamanya adalah “pemberantasan” – hanya dilakukan secara simbolis, hanya untuk kepentingan publikasi. Kalau toh ada langkah penyitaan, bahkan penghancuran ribuan botol miras, hanyalah bersifat temporal, yang tidak ada tindak lanjutnya. Buktinya, produksi miras tetap berjalan. Kenyataan yang kontras inilah, direspons redaksi dengan komentar Ribuan botol hancur, produksi jalan terus.
Fenomena pada (35) mengangkat kasus maraknya radio kampus di Malang. Sebagai hasil teknologi terapan yang dilakukan mahasiswa, mestinya kehadiran radio FM di kampus patut diacungi jempol. Tetapi, oleh para pengusaha radio kehadirannya dianggap sebagai ancaman. Setelah adu argumentasi dari sisi hukum, akademis, dan ekonomis, radio kampus dinyatakan tidak illegal, yang berarti “sah-sah saja”. Tetapi, pengakuan ini ternyata tidak diikuti dengan kebijakan konkret di lapangan. Buktinya, izin baru pendirian radio kampus tetap dipersulit. Atas kejadian yang kontras ini, redaksi berkomentar Tapi tetap dibatasi.
Komentar pada data (36), (37), dan (38) berikut ini juga berjenis kontradisktif.
(36) Krismon menyebabkan impontensi.
Kok bisnis esek-esek makin ramai? (RM, 12 Januari 2003)
(37) Kiper Arema bersaing ketat.
Kecuali menangkap bola. (RM, 9 Januari 2003)
(38) Mahasiswa mulai demo sembako.
Anggota dewan malah kipas-kipas uang. (RM, 7 Januari 2003)
Komentar Tantangan
Berbeda dengan komentar kontradiktif, komentar berjenis tantangan ini berisi dorongan yang menggugah tekad untuk bekerja lebih giat atau untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Komentar jenis ini bisa diarahkan kepada agen yang terlibat langsung dalam fenomena yang dieksposnya, atau agen lain yang secara potensial bisa – secara alternatif – terlibat dalam fenomena tersebut. Data (39) dan (40) berikut merupakan contoh komentar yang bersifat tantangan.
(39) IDI siap penggil dr. Arif.
Berani atasi senior dok? (RM, 2 Februari 2003
(40) Megawati akan datang ke Malang.
Mahasiswa: Tunggu tanggal mainnya. (RM, 1 Februari 2003)
Fenomena pada (39) mengekspos ketekatan IDI untuk memanggil dr. Arif yang terantuk masalah ketika berpraktik. Pasien yang bernama .. langsung meninggal dunia setelah disuntik vitamin oleh dr. Arif. Padahal, ia tergolong dokter senior – juga guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – yang mestinya jauh dari tindakan malpraktik. Sebagai dokter senior, ia cukup disegani teman seprofesinya karena dengan ketulusannya ia sering memberikan arahan dan nasihat kepada teman seprofesinya – terutama kepada dokter yunior – tentang bagaimana tindakan dan sikap ideal seorang dokter. Kejadian yang dinilai banyak kalangan menjurus ke arah “musibah” ini tetap dan harus dipertanggungjawabkan dr. Arif. Satu-satunya lembaga profesi yang berhak meminta pertanggungjawaban adalah IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Bak buah simalakama, pengurus IDI tetap bertekat akan memanggail dr. Arif untuk dimintai pertanggungjawaban. Fenomena ini direspons redaksi dengan memberikan komentar yang berjenis tantangan Berani atasi senior dok? Lewat komentar ini diharapkan pihak IDI tidak ragu lagi ketika mengatasi masalah dr. Arif.
Fenomena (40) mengekpos rencana Megawati ke Malang untuk menghadiri acara di Universitas Brawijaya. Walaupun rencana ini atas undangan Rektor Unibraw, kehadiran Megawati ini dianggap sebagai “langkah berani” sebab situasinya kurang kondusif. Selain masih maraknya demo mahasiswa yang memprotes kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan tarif telepon, juga maraknya tuntutan agar Megawati mundur. Tak pelak, rencana ini “disambut” mahasiswa se Jawa Timur, khususnya mahasiswa Unibraw sendiri. Walaupun tidak dinyatakan secara terang-terangan, sambutan mereka diprediksikan berbentuk demo yang dibarengi dengan penyampaian berbagai tuntutan. Rencana yang penuh tantangan ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar yang bisa memberikan rangsangan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam bentuk kutipan Mahasiswa: Tunggu tanggal mainnya.
Komentar pada data (41), (42), dan (43) berikut ini pun berisi komentar yang berjenis tantangan.
(41) Aremania terus teriaki pengurus.
Lagu lama, kalau berani …(RM, 18 Januari 2003)
(42) Songgoriti bakal diswastanisasikan.
Yang berani ngambil siapkan ongkos. (RM, 17 Januari 2003)
(43) Polresta ancam panggil dewan.
Ayo kamu bisa? (RM, 14 Desember 2002)
Komentar Tujuan
Komentar berjenis tujuan berisi arah atau haluan yang ingin dicapai berkaitan fenomena yang dibidik redaksi. Tentu saja arah dan haluan yang dimaksud masih dalam koridor pemberian kritik. Sinyalemen ini bisa terlihat pada data (44) dan (45) berikut.
(44) LSM libatkan akuntan hitung APBD 2003.
Biar semakin PD. (RM, 29 Januari 2003)
(45) Ribuan mahasiswa Unibraw diblokir.
Cara jitu redam aksi demo. (RM, 29 Januari 2003)
Fenomena pada (44) mengekspos langkah LSM yang melibat akuntan ketika menghitung APBD 2003 Pemkod Malang. Selain sebagai langkah serius, langkah ini dimaksudkan agar sasaran yang dikritisi bisa dipertanggungjawabkan secara professional. Apalagi, selama ini kritikan LSM sering dinilai tidak berbobot dan “asal bicara”, bahkan sering diserang balik oleh pihak yang dikritik. Oleh redaksi, fenomena ini dipahami sebagai upaya untuk mengatualisasikan diri dengan komentar yang berjenis tujuan Biar semakin PD.
Fenomena pada data (45) membidik upaya pihak kepolisian untuk memblokir ribuan mahasiswa Unibraw. Upaya preventif ini dilakukan agar rencana ribuan mahasiswa untuk melakukan aksi demo tidak tersalurkan secara maksimal. Sebab, alasan klasik bagi pihak keamananan, kegiatan turun jalan yang melibatkan ribuan mahasiswa akan mengganggu pihak lain, terutama pemakai jalan. Fenomena ini dipahami redaksi sebagai “upaya tepat” pihak keamanan untuk meredam demo dengan komentar berjenis tujuan Cara jitu redam aksi demo. Tentu saja ini tidak berarti ungkapan persetujuan pihak redaksi.
Komentar pada data (46), (47), dan (48) berikut juga meruapakan komentar yang berjenis tujuan.
(46) Kebalen dan Splindid akan direlokasi.
Pasti sudah dilirik untuk hotel. (RM, 21 Januari 2003)
(47) Jembatan dan jalan prioritas pemkab.
Agar selingkuh tidak macet. (RM, 8 Januari 2003)
(48) Walikota melarang memasuki hutan.
Agar targetnya tercapai. (RM, 28 Januari 2003)
Komentar Harapan
Berbeda dengan komentar berjenis tujuan, komentar harapan ini berisi ungkapan permintaan atau keinginan yang berkaitan dengan fenomena yang menjadi bidikan redaksi. Karena bersifat permintaan, maknanya pun terkesan longgar, walaupun masih tetap bernada kritik. Data (49) dan (50) membuktikan sinyalemen itu.
(49) Jamaah haji Pohonmas berangkat.
Semoga menjadi haji mabrur. (RM, 26 Januari 2003)
(50) Bandar SS diringkus polisi.
Kapan bos bandarnya SS? (RM, 24 Januari 2003)
Fenomena pada data (49) mengekspos keberangkatan jamaah haji Pohonmas. Kita tahu bahwa awal munculnya “arisan” Pohonmas ini memicu kontroversi yang berkepanjangan. Dengan murahnya biaya ONH yang dibebankan kepada anggota, banyak kalangan yang meragukannya. Jangan-jangan “arisan” ini hanya penipuan yang berkedok sosial. Kalau toh betul, apakah dari segi “syarat haji” dibenarkan? Tetapi, bagai tumbu oleh tutup (pepatah Jawa yang berarti ‘peluang bersambut’), tawaran ini mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat, terutama bagi orang-orang yang sudah lama menginginkan ibadah haji tetapi biayanya tidak/kurang mencukupi. Fenomena baru yang controversial ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar berjenis harapan Semoga menjadi haji mabrur. Dengan catatan, komentar ini tulus atau tidak, hanya redaksi yang tahu.
Fenomen pada (50) mengungkap kasus Bandar SS (sabu-sabu) yang diringkus polisi. Penangkapan terhadap Bandar SS ini sering dilakukan polisi. Setelah diproses verbal, pelakunya pun diajukan ke pengadilan. Tetapi, sejauh ini – dinilai oleh banyak kalangan – langkah polisi tersebut belum menjamah ke bandar gede-nya. Mengapa hal ini terjadi? Apakah polisi tidak berani atau memang tidak terlacak? Fenomena ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar berjenis harapan Kapan bos Bandarnya SS?
Fenomena pada data (51), (52), dan (53) berikut ini juga berisi komentar yang berjenis harapan.
(51) CJH tertunda ke Makkah.
Sabar, sabar, dan tunggu. (RM, 28 Januari 2003)
(52) Konsep interpelasi disepakati..
Kami tunggu praktiknya pak. (RM, 10 Agustus 2002)
(53) Selamat datang DPRD Batu.
Rakyat: Selamtkan uang saya pak. (RM, 13 Agustus 2002)
Komentar Pemantapan
Komentar yang berjenis pemantapan ini berisi ungkapan penguatan, peneguhan, atau pengukuhan atas fenomena yang dibidik redaksi. Harapannya adalah agar pembaca lebih “teguh” wawasannya atas fenomena tersebut. Data (54) dan (55) berikut ini merupakan buktinya.
(54) Kenaikan BBM, legislatif bermain opera.
Bakatnya kan cuma itu. (RM, 17 Januari 2003)
(55) Dua kubu PKB Batu akan islah.
Bukti dagelan politik. (RM, 9 Januari 2003)
Fenomena pada (54) mengekspos pernyataan pengamat politik bahwa dalam menyikapi kenaikan BBM ini legislatif sengaja bermain opera. Sementara kita tahu bahwa “opera” adalah drama panggung yang (sebagian besar atau seluruh) isi ceritanya dinyanyikan aktor dengan iringan musik. Dengan demikian, julukan “bermain opera” kepada legislatif mengandung makna bahwa ketika menyikapi kebijakan pemerintah berupa kenaikan BBM, anggota legislatif hanya sekedar “bersuara lantang” dan “berkoar-koar merdu” – bagaikan nyanyian yang diiringi orkestra – seolah-olah memihak rakyat, tetapi pada dasarnya sudah ada komitmen dan link dengan eksekutif atau pemerintah. Antara ucapan dan tindakannya tidak sinkron. Fenomena ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar pemantapan Bakatnya kan Cuma itu.
Fenomena (55) mengekspos dua kubu PKB Batu yang akan islah. Fenomena ini menarik redaksi karena pertikaian dua kubu PKB ini sudah melangkah ke pembentukan pengurus tandingan dan mosi tidak percaya. Biasanya, kalau posisi masing-masingnya “kuat”, karena keduanya didukung oleh banyak anggota, sulit dipertemukan, apalagi diislahkan. Tetapi, kenyataan berbicara lain. Kedua kubu ini mau berislah. Fenomena yang aneh ini dipahami redaksi dengan memberikan komentar berjenis pemantapan Bukti dagelan politik.
Komentar pada (56), (57), dan (58) berikut juga berisi komentar berjenis pemantapan.
(56) Serangan jantung intai remaja.
Juga narkoba dan AIDS. (RM, 8 Januari 2003)
(57) Suyitno: Saya belum apa-apa.
Alasan kuat untuk nyalonkan wali kota lagi (RM, 2 Januari 2003)
(58) Hati-hati konsumsi buah.
Termasuk buah tangan dewan. (RM, 4 Januari 2003)
Komentar Kesimpulan
Berbeda dengan komentar pemantapan, komentar berjenis kesimpulan ini berisi pendapat akhir, keputusan, atau ikhtisar yang dinalar dari fenomena yang menjadi bidikan redaksi. Tentu saja pendapat akhir atau keputusan redaksi ini masih dalam koridor kritik. Data (59) dan (60) berikut merupakan bukti komentar yang berjenis kesimpulan.
(59) Warga dan PDAM kerja bakti.
Ternyata bisa rukun. (RM, 11 Desember 2002)
(60) Idealnya gaji guru naik 5 kali.
Yang begini ini dewan pasti tak bersuara. (RM, 23 Januari 2003)
Fenomena pada (59) mengekspos kegiatan kerja bakti oleh PDAM dan warga. Kegiatan yang cukup langka ini menjadi perhatian redaksi karena selama ini warga sering mengeluh dan protes tentang pelayanan PDAM. Selain “kucuran” air di kompleks-kompleks perumahan sering macet, pengaduan warga pun sering terlambat penanganannya. Konflik ini terasa sirna setelah ada “kerja bakti bersama” tersebut. Oleh redaksi, fenomena ini dipahami dengan memberikan komentar berjenis kesimpulan Ternyata bisa rukun.
Fenomena pada data (60) mengekspos pendapat pakar pendidikan bahwa gaji guru idealnya lima kali lipat dari gaji yang diterima selama ini. Pendapat ini tentu saja mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, terutama para guru.yang pada umumnya tidak jauh berbeda dengan nasib “Oemar Bakrie”. Anehnya, usulan cemerlang ini tidak datang dari wakil rakyat, tetapi datang dari pihak lain. Sebaliknya, yang santer diusulkan hanyalah kenaikan gaji anggota dewan. Fenomena ini dipahami redaksi dengan memperikan komentar berjenis kesimpulan Yang begini ini dewan pasti tak bersuara.
Komentar pada data (61), (62), dan (63) berikut ini juga komentar berjenis kesimpulan.
(61) Pemkot Batu data vila bermasalah.
Timbang tak ada kerjaan ya Pak. (RM, 23 Januari 2003)
(62) Bising, PO Puspa Indah diprotes warga.
Untung harga solar turun. (RM, 22 Januari 2003)
(63) Dijerat, tewas, dibuang.
Khas Malang Selatan. (RM, 19 Januari 2003)
PENUTUP
Dari temuan di atas dapat disimpulkan bahwa apapun jenis strategi komentar redaksi pada wacana kritis RI, tujuan utamanya adalah memberikan kritik atas realitas sosial yang dibidiknya. Sikap kritis yang pada umumnya sejalan dengan sikap publik ini sekaligus membuktikan bahwa redaksi ternyata berpihak pada publik. Fenomena ini sekaligus bisa dipakai sebagai indikator bahwa indepensi redaksi pada era reformasi ini sudah mulai menampak. Hal ini bisa dimaklumi karena pada dasarnya tugas media massa tidak hanya menginformasikan peristiwa aktual secara seimbang, tetapi juga bertanggung jawab untuk membangun realitas sosial yang baik.
Kajian wacana kritis dengan sasaran RI pada RM ini masih merupakan kajian awal. Oleh karena itu, hasil temuan dan bahasannya pun masih “kasar” sehingga perlu pengkajian lanjutan dengan tatapan teori yang lebih komprehensif, jangkauan data yang lebih luas, dan ranah pembahasan yang lebih dalam. Apalagi, setiap media masa hampir dipastikan ada rubrik sejenis RI sehingga berkesempatan luas untuk mendeskripsikan “profil” wacana kritis ini secara utuh.
Seiring dengan era reformasi yang cenderung mengedepankan keterbukaan, wacana kritis semacam RI ini patut dilestarikan. Sebab, selain sebagai salah satu media kritik terbuka, wacana jenis ini juga bisa sebagai sarana untuk melatih kekritisan pembaca. Dengan demikian pembaca tidak hanya disuguhkan serangkaian informasi dan fakta yang bombastis, yang pada dasarnya hanya pengelabuhan semata.
PUSTAKA RUJUKAN
Ali, Novel. 1999. Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Geertz, Cliford. 1991. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahim, Idi Subandy. 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan.
Meltzer, Bernard N. dan Petras, John W. 1972. “The Chicago and Iowa Schools of Symbolic Interactionism.” Dalam J. Manis daan B.N. Meltzer (ed), Symbolic Interaction. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ricour, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus Meaning. Texas: Texas Christian University Press.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius.
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial: Refleksi
Masnur Muslich adalah dosen pada Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri
1 Pada era reformasi ini media pers lebih “terbuka” dan “bebas” dalam membidik sasaran dan menentukan makna realitas sosial. Pada era Orde Baru, kebebasan pers terpasung oleh kekuasaan, termasuk ketika membidik sasaran dan menafsirkan makna. Lihat tulisan Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik: Potret Manusia Indonesia (Bandung, PT Remaja Rosda Jaja, 1999); Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim, Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung, Mizan: 1996).
2 Telaah kritis tentang peran media dalam mengungkap realitas sosial bisa dilihat tulisan Dedy N. Hidayat, “Pengantar”, dalam Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
3 Dalam perspektif sosiologi kontemporer, kajian terhadap makna kontekstual ini menjadi perhatian utama. Lihat tulisan Margaret M Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1994).
4 Dalam hal penafsiran makna ini bisa dilihat tulisan E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta, Kanisius, 1999); Paul Ricour, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus Meaning (Texas, Texas Christian University Press, 1976); dan Cliford Geertz, Tafsir Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
5 Teori interakasionisme simbolik yang dikembangkan H. Blumer ini lebih dikenal dengan “aliran
6. Dalam bidang pemahaman ilmu sosial, keobjektifan ini tetap saja relatif, sebab unsur subjektif si penafsir masih tetap mewarnai penafsirannya. Karena tafsir yang dihasilkannya ada kesamaan dengan penafsir lain, keobjektifan ini biasa diistilahkan “intersubjektif”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar