MAKNA EMOSI DAN NORMA BUDAYA
DALAM BAHASA
Oleh Masnur Muslich[*]
ABSTRAK
Makna emosi dalam komunikasi verbal ternyata berimplikasi pada norma budaya yang berlaku di masyarakat. Dengan mengetahui komponen setiap leksikon makna emosi akan diketahui keunikan budaya masyarakat yang bersangkutan, yang sekaligus merupakan ciri pembeda dengan budaya masyarakat lain. Di sisi lain,
budaya “santun berbahasa” merupakan norma yang diterapkan dalam perilaku komunikasi masyarakat pemakai bahasa
Kata-kata Kunci: makna emosi, emosi positif, emosi negatif, komponen makna, norma budaya, komunikasi verbal,
Kajian tentang emosi sudah lama dilakukan oleh beberapa disiplin ilmu sosial, baik antropologi, psikologi, maupun filsafat. Antropologi memandang emosi merupakan gagasan kebudayaan sebagai hasil interaksi antara situasi sosial, perasaan, dan perilaku manusia. Psikologi memandang emosi merupakan unsur yang mendasar dari pengalaman manusia, atau sesuatu yang innate. Sementara itu, filsafat memandang emosi merupakan unsur yang selalu mengiringi akal dan pikiran manusia. Dari ketiga disiplin tersebut terlihat bahwa emosi selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia.
Dalam bidang linguistik, kajian terhadap emosi belum mendapatkan perhatian yang proporsional. Kalau toh ada, belum sampai menjamah ke fenomena gramatkanya. Barulah pada tahun 90-an terdapat beberapa tulisan yang menggunakan pendekatan linguistik, misalnya tulisan Dineen (1990), Goddard (1990), Hakins (1990, 1996), dan Wierzbick (1990, 1996). Di Indonesia sendiri penelitian tentang emosi lebih banyak dilakukan untuk keperluan bidang psikologi.
Tulisan ini mencoba mengkaji pernyataan emosi dalam bahasa
Sebelum pada simpulkan, tulisan ini berturut-turut menguraikan empat hal, yaitu (1) konsep emosi, (2) wacana kebudayaan, (3) makna emosi dalam bahasa
Konsep Emosi
Apabila melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, “emosi” diartikan ‘luapan perasaan yang berkembang dan surut di waktu singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, kaharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektif)’. Dalam praktiknya, ‘luapan emosi’ atau ‘reaksi psikologis atau fisiologis’ ini dapat merefleksikan budaya masyarakatnya, walaupun luapan perasaan tersebut bersifat subjektif. Hal ini bisa dimaklumi karena secara makro konsep emosi pada dasarnya terdapat dalam sistem bahasa dan sistem budaya. Bahkan, konsep emosi tertentu, bersar kemungkinan terkait dengan kata kunci kebudayaan, dan konsep ini ini ada pada setiap bahasa. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Solomon (1984), dalam Wierzbicka (1990a: 134), mengatakan bahwa perbedaan emosi merupakan bagian dari perbedaan lintas budaya (cross-cultural), bukan hanya perbedan keadaan dan ekspresi.
Secara semantis, orang yang mengalami emosi dikatakan pengalam (experiencer). Ada dua cara yang digunakan pengalam untuk mengungkap emosi: secara verbal dan nonverbal. Ungkapan emosi verbal melalui kata-kata atau ujaran emosi, sedangkan ungkapan emosi nonverbal melalui ekspresi wajah (mimik), gerakan tangan, gerakan kata, mengangkat bahu, dan sebagainya. Kajian ini difokuskan pada ungkapan emosi verbal tanpa bermaksud mengabaikan ungkapan emosi nonverbal.
Mengikuti pendapat Wierzbicka (1996b: 178), konsep emosi dalamkajian ini dkelompokkan dalam dua bagian, yaitu emosi yang berhubungan dengan “peristiwa yang baik” dan emosi yang berhubungan dengan “peristiwa yang tidak baik”. Kelompok pertama biasa disebut emosi positif, sedangkan kelompok kedua disebut emosi negatif. Kedua kategori ini pada dasarnya merupakan subordinasi dari emosi dasar manusia (Lihat Prawitasari, 1997: 10).
Temuan sementara ungkapan emosi verbal bahasa Indonesia baik yang positif maupun yang negatif didaftar sebagai berikut, disertai contohnya dalam kalimat.
Tabel: Ungkapan Emosi Verbal (UEV) Bahasa Indonesia
No. | U E V | Contoh Kalimat |
A. Positif | ||
1. | gembira | Aku gembira karena memperoleh hadiah ulang tahun dari pacarku. |
2. | terharu | Penduduk terharu karena mendapat bantuan dari jutawan. |
3. | bangga | Ayah bangga mempunyai anak yang pintar. |
4. | lega | Dokter lega setelah berhasil memisahkan bayi kembar siam. |
5. | berani | Aku berani membeli barang antik dengan harga tinggi. |
6. | yakin | Ia yakin bahwa barang yang baru dibelinya adalah bukan imitasi. |
7. | puas | Penonton puas dengan sajian musik kontemporer. |
8. | suka | Perempuan biasa suka masakan pedas. |
9. | Sayang | Kakak sayang kepada adik bungsunya. |
10. | cinta | Ia sangat cinta kepadsa kekasih barunya. |
B. Negatif | ||
11. | sedih | Ibu sedih karena nenek baru meninggal. |
12. | marah | Pak guru marah karena siswanya tidak ada yang mengerjakan PR. |
13. | malu | Kakak malu karena dimarahi ayah di muka temannya. |
14. | kecewa | Pangunjung kecewa karena artis yang ditunggu-tunggu tidak datang. |
15. | takut | Adik takut dengan cerita hantu. |
16. | ragu | Pembeli ragu apakah barang yang baru dibelinya bergaransi. |
17. | risau | Ayah risau karena adik tidak pulang ke rumah. |
18. | benci | Ayah benci dengan orang yang pernah membohonginya. |
19. | bosan | Saya bosan dengan makanan yang itu-itu saja. |
20. | kesal | Paman kesal karena sepeda yang dirusakkan kakak. |
Berkaitan dengan kajian leksikon emosi ini Wierzbicka (1996b: 133-134) mencatat ada dua asumsi yang bertentangan. Asumsi ini didasari oleh kenyataan bahwa konsep emosi dasar adalah sama pada semua bahasa di dunia. Oleh sebab itu, konsep emosi gembira, sedih, berani, takur diterima secara universal sebagai kategori pengalam yang berbeda. Asumsi kedua, konsep emosi dalam bahasa yang berbeda tidak bisa dibandingan. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa konsep emosi dibentuk oleh keunikan budaya masing-masing. Dengan demikian, setiap bahasa mempunyai kata-kata yang mengandung konsep budaya yang relevan dengan masyarakat pendukungna. Sebagai contoh, ungkapan emosi verbal malu dalam bahasa Indonesia diasumsikan tidak sama artinya dengan shame dalam bahasa Inggris, whakamaa dalam bahasa Maori, ha’ama dalam bahasa Tahiti, atau kaji dalam bahasa Jepang.
Dalam membatasi makna emosi, Dineen (1990: 219-221) mengusulkan empat komponen yang diperhatikan. Pertama, munculnya perasaan tertentu pada diri pengalam, yang diacu sebagai pusat emosi. Untuk bahasa Indonesia, pusat emosi adalah hati. (Sibarani, 1998: 28). Kedua, penilaian terhadap emosi. Komponen ini mengimplikasikan adanya situasi dan tindakan yang menyebabkan munculnya parasaan emosi tertentu dalam diri pengalam. Ketiga, pemicu emosi atau situasi yang menimbulkan emosi dalam diri pengalam. Banyak faktor yang visa menjadi pemicu emosi, misalnya: dipuja, dimarahi, disindir, dibohongi, dituduh, dan sebagainya. Keempat, reaksi terhadap emosi. Jenis reaksi mana yang muncul sangat tergantung pada pemicunya, misalnya tertawa, menangis, mengurung diri, bertolak pinggang, dan sebagainya.
Wacana Kebudayaan
Pendekatan wacana kebudayaan terkait dengan analisis semantik ini diperkenalkan oleh Wierzbicka (1990b, 1991, 1992, 1996a, 1996b) dan kawan-kawan sebagai sebuah perkembangan dari teori Natural Semantic Metalanguage (NSM). Alasan utama penggunaan pendekatan ini adalah kurangnya model-model yang memadai dalam kajian lintas-budaya (cross-culture) yang mampu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses dalam diri manusia ketika sedang berpikir dan berkomunikasi dalam budaya yang berbeda.
Untuk mengetahui lebih jauh pendekatan ini perlu dijelaskan dua konsep teoretis penting terkait dengan teori NSM, yaitu konsep makna asli (semantic primitif) dan konsep sintaksis makna universal (universal syntax of meaning). Makna asli ialah perangkat makna yang tidak pernah berubah karena diwarisi manusia sejak lahir (innet). Oleh pendukung teori NSM,makna ini diklaim bersifat universal sebab dapat dipadankan pada setiap bahasa. Makna tersebut tergolong ke dalam beberapa kateori, yaitu substantis (seseorang, sesuatu), predikat mental (memikirkan, merasakan,mengetahui), tindakan (terjadi,banjir), perpindahan (bergerak, bergeser), penilaian (baik, buruk), waktu (sekarang, besok), dan sebagainya.
Sementara itu, sintaksis makna universal ialah perangkat makna yang twerbentuk dari kombinasi makna asli. Gagasan kedua ini muncul karena adanya kenyataan bahwa makna kata tidak bisa dibentuk oleh makna asli saja, tetapi selalu berupa komponen yang berstruktur. Misalnya, “Orang ini melakukan sesuatu”, “Ini jelek”, “Aku memikirkan sesuatu”, “Ia merasakan sesuatu yang baik”, dan sebagainya.
Dalam konteks leksikon emosi, ungkapan verbal gembira, sedih, dan marah, misalnya, dapat dirumuskan dengan makna berikut:
gembira | : ‘sesuatu yang baik sedang terjadi’ ‘aku menginginkan ini’ |
sedih | : ‘sesuatu yang buruk sedang terjadi’ ‘aku tidak ingin ini terjadi’ |
marah | : ‘orang ini melakukan sesuatu yang buruk’ ‘aku tidak menginginkan ini’ |
Kombinasi makna melalui mekanisme semacam ini dalam kenyataannya bisa menghasilkan sebuah wacana (script) atau skenario (scenario), yang merefleksikan keunikan atau kekhasan sebuah kelompok masyarakat. Jadi, istilah wacana kebudayaan pada dasaranya merujuk pada susunan komponen ini. Dikatakan wacana kebudayaan, kata Wierzbicka (19966: 8), karena susunan komponen ini bisa digunakan untukmenjelaskan perbedaan-perbedaan budaya tanpa menimbulkan bias etnosentris. Hal ini biasa terjadi karena konsep yang relevan tidak ditemukan dalamkebudayaan yang diteliti.
Singkatnya, pendekatan wacana ini diformulasikan dalammakna alamiah metabahasa, berdasarkan satu unit leksikon universal dan pola sintaksis universal. Dengan penggunaan metabahasa ini peneliti memungkinkan untukmendeskripsikan dan membandingkan sikap-sikap, asumsi-asumsi,norma-norma, dan pandangan kebudayaan yang independen. Cara ini dilakukan berdasarkan formula sederhana dan dapat dibuktikan secara cermat dan empiris.
Sebagai ilustrasi, bagaimana penggunaan wacana kebudayaan untuk membandingkan dua budaya yang berbeda, bisa diperhatikan tiga wacana berikut ini.
Wacana budaya A:
1. Setiap orang dapat mengatakan sesuatu pada seseorang seperti ini:
-- “Saya kira ini.”
-- “Saya kira bukan ini.”
2. Rasanya baik mengatakan apa yang saya pikirkan kepada seseorang.
3. Rasanya baik mengatakan apa yang saya rasakan kepada seseorang.
Wacana budaya B:
4.Saya tidak dapat mengatakan sesuatu pada seseorang seperti ini,
-- “Saya kira ini.”
-- “Saya kira bukan ini.”
5. Rasanya baik tidak mengatakan apa yang saya pikirkan.
6. Saya tidak dapat mengatakan apa yang saya rasakan.
Dari wacana yang diteliti Wierzbicka (1996b) tersebut, ternyata wacana 1, 2, 3 merupakan representasi dari norma budaya Amerika. Wacfana 1 menyatakan kebebasan dalammengemukakan pendapat; seddangkan wacana 2 dan 3 menjelalskan nilai budaya verbalisasi dan ekspresi terbuka dan jujur. Sementara itu, wacana 4, 5, 6 merupakan representasi dari norma budaya Jepang. Bertolak belakang dengan normabudaya Amerika, orang-orang Jepang dididik untukmengerti perasaan, keinginan, dan kebutuhan orang lain tanpa komunikasi verbal. “Lain ladang lain belalang,lain lubuk lain ikannya.”
Makna Emosi dalam Bahasa Indonesia
Secaragaris besar, bahasa Indonesia mengetanal dua tipe emosi, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Dalam kerangka NSM makna kedua tipe emosi ini dideskripsikan sebagai kombinasi makna ‘memikirkan’ dan ‘merasakan’. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa orang yang merasakan emosi tertentu memunyai pikiran tertentu tentang situasi tertentu, dan situasi ini dipresentasikan oleh perangkat komponen kognitif:
‘X memikirkan sesuatu seperti ini: ……’
Pikiran tersebut melibatkan acuan pada tindakan atau peristiwa, sesuatu yang ‘baik’ atau ‘tidak baik’, dan ‘ingin’ atau ‘tidak ingin’. Jadi,makna emosi bergantung pada acuan yang termuat dalam pikiran, dan acuan ini akan dieksploitasi berdasarkan tipe emosi.
Berikut ini makna emosi ungkapan verbal dari kedua tipe tersebut dideskripsikan secara lebih detail.
A. Makna Ungkapan Verbal Emosi Positif:
gembira
Leksikon gembira dipakai oleh pengalam ketika memperoleh sesuatu atau mengalami kejadian yang menjadi keinginannnya, misalnya memperoleh hadiah, bertemu dengan teman lama,menikahkan anggota keluarganya, dan sebagainya. Sesuatu yang baik dan yang sedang terjadi ini
gembira
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik sedang terjadi
-- aku menginginkan ini
-- aku ingin orang mengetahui ini
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
bangga
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik sedang terjadi
-- orang mengetahui ini
-- orang mengatakan sesuatu yang baik tentang aku karena ini.
-- aku menginginkan ini
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
lega
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang buruk terjadi
-- aku tidak menginginkan ini
Setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku tahu sekarang: ini tidak terjadi
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
terharu
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik tidak akan terjadi
-- aku tidak menginginkan ini
Selain ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku tahu sekarang: sesuatu yang baik terjadi.
-- aku menginginkan ini
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
berani
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik akan terjadi
-- aku menginginkan ini
Selain ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu ini harus terjadi karena aku
-- aku melakukan ini
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
yakin
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik sedang terjadi
-- aku mengetahui ini
Selain ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu ini berciri sama dengan yang pernah aku lihat.
-- aku menginginkan ini.
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
puas
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik akan terjadi
-- aku menginginkan ini
Selain ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku tahu sekarang: ini benar-benar terjadi
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
suka
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu akan terjadi
-- aku telah lama menginginkan ini
Selain ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku ingin memiliki ini
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
sayang
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu sedang terjadi
-- aku menginginkan ini
Setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku ingin melindungi ini
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
cinta
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu sedang terjadi
-- aku menginginkan ini
Setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku ingin
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang baik
B. Makna Ungkapan Verbal Emosi Negatif
sedih
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang buruk telah terjadi
Jika aku tahu ini akan terjadi, aku akan berkata:
-- aku tidak ingin ini terjadi
Tetapi:
-- aku aku tidak dapat mengatakan ini sekarang.
-- karena aku tahu: aku tidak bisa melakukan apa pun
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
marah
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- orang ini (Y) melakukan sesuatu yang buruk
-- aku tidak menginginkan ini
-- aku ingin melakukan sesuatu yang buruk pada orang ini.
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk terhadap Y
malu
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang buruk telah terjadi.
-- orang mengetahui ini
-- orang memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku karena ini.
-- orang mengatakan sesuatu yang buruk tentang aku karena ini
-- aku tidak menginginkan ini
Karena ini:
X tidak ingin melihat orang lain
Karena ini:
X merasakan sesuatu yang buruk
kecewa
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang baik akan terjadi
-- aku menginginkan ini.
Setelah ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku tahu sekarang: ini tidak terjadi.
Karena ini:
X merasakan sesuatu yang buruk
takut
X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- sesuatu yang buruk sedang terjadi
-- aku tidak menginginkan ini.
Sekarang ini, X memikirkan sesuatu seperti ini:
-- aku ingin menghindari ini.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
ragu
X memikirkan sesuatu seperti ini:
--.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
risau
X memikirkan sesuatu seperti ini:
--.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
benci
X memikirkan sesuatu seperti ini:
--.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
bosan
X memikirkan sesuatu seperti ini:
--.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
kesal
X memikirkan sesuatu seperti ini:
--.
--
Karena itu:
X merasakan sesuatu yang buruk
Norma Budaya Indonesia
Konsep emosi yang terdapat pada leksikon sebuah bahasa dapat memberikan petunjuk penting bagi pengungkapan norma budaya penuturnya. Mengapa demikian? Sebab, norma budaya pada hakikatnya terimplementasi dalam piranti bahasa seperti butir leksikal, partikel, konstruksi gramatis, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep emosi dalam bahasa Indonesia yang diperikan di atas juga dapat dihubungkan dengan norma budaya masyaraktnya.
Kita tahu bahwa budaya masyarakat Indonesia sangat menaruh perhatian pada perilaku sopan, dan sebagai salah satu realisasinya adalah berbicara dengan cara yang sopan. Cara berbicara sopan ini boleh dikatakan merupakan salah satu norma perilaku berkomunikasi mereka tanpa pandang status sosial. Sebagai bagian dari norma, seseorang yang berbicara tidak sopan akan dinilai sebagai orang yang “kurang ajar” atau “tidak beradat”. Sebaliknya, orang yang berbicara sopan akan memperoleh penilaian positif: pujian atau kebanggaan. Norma budayanya bisa dideskripsikan dalam wacana berikut.
· Jika seseorang mendengar orang lain mengatakan sesuatu:
- mereka memikirkan sesuatu seperti ini:
-- orang ini tahu mengatakan sesuatu dengan baik kepadaorang lain.
-- ini baik.
Atau
- mereka memikirkan sesuatu seperti ini:
-- orang ini tidak tahu mengatakan sesuatu dengan baik kepadaorang lain.
-- ini buruk.
Yang menarik, norma kesopanan juga berlaku dalam ranah norverbal orang Indonesia. Misalnya, menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan sesuatu, melepas sepatu atau sandal sebelummasuk rumah, memakan sedikit makanan yang ditawarkan (meskipun lapar) ketika bertamu, bersikap khusu ketika melewati orang yang sedang duduk, dan menghindari sentuhan fisik dengan anggota keluarga yang berbeda jenis kelamin, dan sebagainya.
Berkaitan dengan berkomunikasi, khususnya berbicara, ada ungkapan “Kalau hendak berbicara pikirlah dulu”, “Pikir itu pelita hati”, dan “Pikir dahulu pendapatan sesal kemudia tidak berguna”. Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya berpikir sebelum bertindak, termasuk berbicara, bagi masyarakat Indonesia. Tujuannya adalah untuk menghindari lawan bicara merasakan sesuatu yang buruk, seperti marah, sedih, malu, tersinggung, dan perasaan negatif lain. Norma budaya tersebut dapat dideskripsikan dalam wacana berikut.
· Sebelum aku mengatakan sesuatu kepadaorang lain, sebaiknya aku berpikir ini:
- aku tidak ingin orang lain merasakan sesuatu yang buruk
- aku tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku.
Oleh karena itu,
- aku harus memikirkan apa yang ingin aku katakan.
Namun, jika seseorang merasakan sesuatu yang buruk karena tindakan atau ucapan orang lain, baik disengaja maupun tidak, maka orang yang melakukan hal ini lazimnya harus meminta maaf. Tindakan meminta maaf sebagai wujud pengakuan dari rasa bersalah mengimplikasikan ketinggian budi dan kesantunan seseorang/ Norma budayanya dapat dideskripsikan padawacana berikut.
· Jika sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang karena aku:
- aku akan mengatakan sesuatu seperti ini pada orang ini:
-- aku merasakan sesuatu yang buruk karena ini.
Budaya percakapan bahasa Indonesia juga menghindari munculnya suara-suara yang tidak diperlukan, misalnya suara keras. Berbicara yang demikian dianggap kurang sopan, apalagi berbicara dengan orang tua, orang yajg dihormati, atau orang yang belum dikenal. Selain itu, berbicara yang demikian dianggap sebagai tanda emosi negatif. Norma budayanya dapat dideksripsikan dalam wacana berikut.
· Jika aku mengatakan sesuatu kepada seseorang:
- aku tidak baik mengatakannya dengan suara keras.
- aku tidak ingin orang lain mengira aku merasakan sesuatu yang buruk.
Kebiasaan lain dalam percakapan bahasa Indonesia ialah penutur sangat berhati-hati untuk berbicara banyak, termasuk menyela perkataan orang lain. Berbicara seperti ini selain kurang span juga perasaan orang lain tidak nyaman karena hak bicaranya terpotong. Norma budaya kondisi tersebut bisa dideskripsikan dalam wacana berikut.
· Jika aku mengatakan sesuatu kepada orang lain:
- aku tidak baik mengatakan banyak hal pada waktu singkat.
- aku tidak baik memotong pembicaraan orang lain.
- aku tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu yang buruk tentang aku.
Budaya Indonesia menghindari ekspresi perasaan dalam bentuk verbal. Setiap orang dalam masyarakat Indonesia tampaknya dituntut untuk peka dengan komunikasi nonverbal, dengan bahasa tubuh. Jika seseorang sedang marah atau sedih, emosi ini tidak diekspresikan dalam bentuk verbal, tetapu diekspresikan dalam bentuk nonverbal, misalnya melalui raut wajah atau gerakanmata. Norma budaya ini bisa dideskripsikan dalam wacana berikut.
· Jika aku merasakan sesuatu:
- tidak baik mengatakannya kepada orang lain.
- jika orang lain melihat aku, ia tahu apa yang aku rasakan.
Simpulan
Telah dibuktikan dalam kajian ini bahwa konsep emosi yang dinyatakan dalam leksikon bahasa Indonesia mempunyai makna yang teratur. Semua kata pada ranah ini dibatasi oleh sejumlah komponen semantis seperti ‘perasaan’, ‘pikiran’, ‘perkataan’, ‘pengetahuan’, ‘penglihatan’, ‘tindakan’, dan ‘keinginan’. Makna emosi yang terbentuk diekspresikan dalam kerangka berikut:
“X memikirkan sesuatu seperti ini: ….”
“karena ini, X merasakan sesuatu: …”
Dalam budaya Indonesia berbicara sopan merupakan salah satu norma perilaku komunikasi masyarakatnya. Norma ini akan membatasi penutur untuk mengekspresikan perasaannya agar tidak menyinggung perasaan orang lain. Dalam bahasa Indonesia norma umum yang berkaitan dengan konsep emosi adalah
“aku tidak ingin seseorang merasakan sesuatu yang buruk karena perkataan atau tindakanku”
Pengkajian awal ini tentu perlu ditindaklanjuti lebih mendalam agar deskripsi tentang makna emosi dalam komunikasi verbal yang terkait dengan norma-norma budaya masyarakat Indonesia bisa lebih jelas dan utuh.
Daftar Pustaka
Dineen, A. 1990. “Shame/Embarrassment in English and Danish”. Dalam Australian Journal of Linguistics, 10: 217-230.
Edward, John. 1985. language, Society, and Identity. New York: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1972. The Sociology of Language: an Interdisciplinary social Science Approach to Language in Society. Newbury House Publisher
Goddard, C. 1990. “The Lexical Semantics of “Good Feelings” in Yankunythathara”. Dalam Australian Journal of Linguistics, 10: 257-392.
Goddard, C. 1996. “Cultural Value and ‘Cultural Scripts’ of Malay (Bahasa Melayu)” Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.
Goddard, C & A. Wierzbicka. 1996. “Discourse and Culture”. Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.
Goody, Esther N. (ed.). 2985. Questions and Politeness: Strategies in Social Interaction. Combridge
Gordon, George N. 1965. The Languages of Communication. New York: Hasting House
Harkins, J. 1990. “Shame and Shyness in the Aboriginal Classroom: A case for ‘Practical Semantics’”. Australian Journal of Linguistics, 10: 293-306.
Harkins, J. 1996. “Linguistic and Cultural Differences in Conscepts of Shame”. Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Prawitasari, J.E. 1997. “Emosi dalamBudaya Masyarakat Padang dan Pelmbang.” Makalah pada Simposium Internasional Bahasa dan Budaya di Dunia Melayu (Asia Tenggara). Mataram: FKIP Universitas Mataram.
Salam, H. Burhanuddin. 1997. Etika Sosial: Asas Moral dalam Kehiduan Manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sibarani, R. 1998. “Pusat Ungkapan Perasaan dalam BahasaIndonesia”. Dalam Linguistika, 8: 27-34.
Silzer, Peter. 1990. Bahasa sebagai Ungkapan Perasaan. (Makalah) Depok: Fakultas Sastra UI.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.
Wierzbicka, A. 1990a. “Introduction”. Dalam Australian Journal of Linguistics, 10: 133-138.
Wierzbicka, A. 1990b. “The Semantic of Emotion: Fear and Its Relatives in English”. Australian Journal of Linguistics, 10: 359-375.
Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Social Interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.
Wierzbicka, A. 1992. Semantics, Culture, and Cognition. Oxford: Oxford University Press.
Wierzbicka, A. 1996a Semantics: Promes and Universals. Oxford: Oxford University Press.
Wierzbicka, A. 1996b. “’Cukltural Script: A New Approach to the Study of Cross-Cultural Communication”. Dalam A. Wierzbicka (ed.). Cross-Cultural Communication. Canberra: Australian National University.
[*] Masnur Muslich, Drs., MSi. adalah dosen Universitas Negeri Malang –
Tidak ada komentar:
Posting Komentar