YANG LENGSER DAN YANG MUNCUL:
FENOMENA EKSISTENSI SIMBOL PADA ERA REFORMASI
Oleh: Masnur Muslich[*]
Eksistensi Simbol: Pengantar Persoalan
Makna realitas kehidupan yang dikemas dalam simbol-simbol ini dipengaruhi oleh unsur subjektif komunitas pemakainya, terutama ideologi yang mereka anut – alih-alih sebagai idealisme mereka. Bahkan, dalam kenyataannya, kata Meszaros,[ii]dalam komunitas kita, semua hal telah “tercelup ideologi”, apakah disadari atau tidak.
Pada dasarnya, ideologi merupakan serangkaian preferensi yang dimiliki bersama oleh komunitas politik.[iii] Karena sifatnya yang socially shared, ideologi pasti terbentuk melalui proses sosial.[iv]Hal ini juga tejadi ketika mereka menciptakan simbol-simbol yang dipakai untuk memaknakan realitas sosial yang dihadapi dan diidealkan. Lewat simbol-simbol yang “dimaknakan” ini,[v]mereka bisa menyampaiakan dan mengekspresikan ideologinya., yang sekaligus bisa meng-counter ideologi lain yang tidak menjadi idealismenya.
Dalam praktiknya lebih lanjut, dan karena begitu urgennya bagi “pelestarian” idealogi, simbol ini menjadi komoditas yang selalu diperebutkan para elite penguasa dari rezim ke rezim.
Keyakinan penguasaan simbol oleh para elite penguasa ini sering cenderung kebablasan. Dengan kekuasaannya, mereka sering dengan seenaknya memaknakan simbol di luar konteks sosial dan secara sepihak.[vii]Padahal, konteks sosial terus berubah seiring dengan perubahan visi dan misi internal dan komunitas politik yuang mereka kuasai. Akibatnya, timbullah “kesenjangan” makna simbol yang dimaksudkan elite penguasa dan yang diinginkan oleh komunitas politiknya. Fenomena ini terjadi karena tidak atau kurang adanya kesadaran bagi elite penguasa bahwa hakikat simbol itu muncul secara socially shared dan melalui prses sosial, bukan secara paksaan dan sentralistik.
Upaya elite penguasa untuk mengkooptasi pikiran rakyat dengan cara “menggiring” dan “mengontrol” makna simbol di semua ranah kehidupan ini pada dasarnya bertujuan untuk melanggengkan kekuasaanya. Dengan dalih “demi stabilitas nasional”, “demi persatuan dan kesatuan”, “demi keutuhan bangsa”, rakyat tidak boleh memiliki pikiran, tafsir, dan makna yang berbeda dan berseberangan dengan penguasa. Sebaliknya, rakyat harus memiliki kesamaan pikiran, tafsir, dan makna dengan penguasa. Dengan pola “pemahamn tunggal” inilah rakyat bisa diatur, ditaklukan, bahkan dipecundangi sesuai dengan keinginan penguasa. Dan, cara inilah merupakan langkah embrional menuju kekuasaan tunggal.[viii]
Pada sisi lain, dalam rangka melestarikan kekuasaannya, penguasa juga aktif menciptakan simbol baru. Simbol-simbol yang diciptakan ini tidak hanya diarahkan pada ide-ide yang menjadi program andalannya, tetapi juga diarahkan pada pihak-pihak lawan yang dianggap berseberangan. Pada Era Orde Bru, kita kenal simbol-simbol yang bernuansa positif, misalnya: Bapak pembangunan, ekonomi Pancsila, pembangunan seutuhnya, kencangkan ikat pinggang, pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4), dan simbol-simbol bombastis lainnya. Juga diciptakan simbol-simbol yang bernuansa negatif, misalnya: pemberontak, subversi, daerah oprasi militer (DOM), gerakan pengacau keamanan (GPK), pihak ketiga, dsb. yang diarahkan pada lawan.[ix]
Fenomena tersebut kiranya tidak perlu terjadi apabila elite penguasa memahami (dan mau mengerti) akan perlunya keseimbangan antara negara dan rakyat. Negara – dalam hal ini pemerintah yang dikenadalikan oleh elite penguasa – yang selama ini cenderung mementingkan kekuasaannya, perlu diredefinisi perannya. Ihwal redefinisi peran ini, Anthony Giddens dalam bukunya The Third Way memfokuskan ke dua hal, yaitu clean governance (kepemerintahan yang bersih) dan good and open governance (kepemerintahan yang baik dan terbuka).[x] Kedua hal ini patut menjadi perhatian pemerintah karena kini rakyat sudah semakin kuat “posisi”-nya sebagai konsekuensi logis dari tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan “penguasaan” dunia lewat globalisasi informasi. Legitimasi negara tidak lagi lewat penciptaan simbol, kooptasi makna simbol, dan penciptaan mitos-mitos bagi rakyatnya, tetapi lebih didasarkan pada keaktifan untuk memperluas peran pada sektor publik. Dengan peran baru ini, pemerintah pada dasarnya hanya bertindak sebagai fasilitator dan pelayan publik, pencipta perangkat struktural berdasarkan konstitusi yang memungkinkan bekerja secara transparan, terbuka, dan efisien.
Pandangan Anthony Giddens tersebut rupanya sejalan dengan tuntutan yang berkembang pada era reformasi ini. Tuntutan adanya pemerintahan yang demokratis, terbuka, bersih, egaliter, dan desentralisasi terus digulirkan oleh rakyat dari berbagai kalangan. Kalau toh simbol-simbol terpaksa muncul (atau dimunculkan), harus mendukung “visi” tersebut.dan bernuansa kerakyatan. Realitas inilah akhirnya yang mempertaruhkan eksistensi simbol. Simbol-simbol yang bertentangan dengan visi reformasi akan – dengan sedirinya – lengser; sedangkan simbol-simbol yang mendukung visi reformasi akan terorbit dengan cepat. Dua fenomena – lengser dan munculnya simbol pada era reformasi – inilah yang dikaji pada bagian berikut ini.
Simbol-simbol yang Lengser
Pada era reformasi ini terjadi pelengseran simbol sebagai akibat adanya perubahan preferensi komunitas politik. Simbol-simbol yang pada era Orde Baru sering digunakan – karena memang sengaja diciptakan – oleh para elite penguasa, pada era reformasi ini kurang – bahkan ada yang tidak – digunakan. Hal ini terjadi karena selain proses pemaknaan simbol-simbol itu “dipaksakan” oleh elite penguasa rezim Orde Baru, juga adanya kebangkitan kesadaran komunitas politik – terutama rakyat – untuk memaknakan realitas kehidupan.
Simbol Pembangunan
Pada era Orde Baru, “pembangunan” yang dimaknakan sebagai ‘upaya penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat’ dianggap sebagai simbol utama. Simbol ini menurunkan beberapa simbol bawahan yang bernuansa pembangunan, misalnya, pemerataan pembangunan, anti pembangunan, pembangunan seutuhnya, kesinambungan, tinggal landas. Pada era reformasi, simbol-simbol ini sudah tidak terdengar lagi, sebab selain dianggap bombastis, dalam pelaksanaannya ternyata kurang – bahkan tidak – menguntungkan rakyat. Simbol bawahan pemerataan pembangunan, misalnya, dipraktikkan menjadi ‘pembangunan yang tidak merata dan hanya terpusat di kota saja’, anti pembangunan hanya dimaknakan kepada ‘pihak-pihak yang suka protes ketika rumahnya digusur’, pembangunan seutuhnya hanya diarahkan pada ‘pembangunan fisik yang menguntungkan orang kaya’.[xi]
Simbol Anti Kemapanan
Orde Baru, ketika itu, dicitrakan sebagai orde yang telah mapan. Oleh karena itu, setiap ada gerakan yang mengarah pada perongrongan kekuasaan Orde Baru dianggap sebagai anti kemapanan. Padahal, gerakan ini merupakan reaksi sadar dari pihak-pihak yang tertekan oleh tangan besi Orde Baru. Simbol-simbol yang diciptakan rezim Orde Baru sebagai representasi anti kemapanan, yang pada era reformasi ini kurang atau tidak dipakai lagi adalah, antara lain, subversi, ekstrem kiri, ekstrem kanan, organisasi terlarang, GPK (gerakan pengacau keamanan), OT (organisasi terlarang), OTB (organisasi tanpa bentuk), SARA (suku, agama, ras, dan adat-istiadat), kiri baru, bersih diri, bersih lingkungan.
Oleh pengasa Orde Baru, simbol subversi hanya dimaknakan secara sempit, yaitu hanya diarahkan pada ‘tindakan-tindakan yang merongrong wibawa presiden’, misalnya seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, mahasiswa yang tidak mau berdiri ketika presiden masuk ke arena atau acara resmi, kelompok yang mengkritisi gagasan presiden. Sementara itu, konglomerat yang menilep dana rakyat triliunan rupiah tidak termasuk tindakan subversi.
Simbol ekstrem kiri dan ekstrem kanan hanya diarahkan pada kelompok-kelompok yang tidak mendukung program pemerintah karena perbedaan strategi perjuangan. Padahal, visi dan misi kelompok ini pada dasarnya juga memperjuangkan kemapanan kehidupan bangsa dengan strategi tertentu. “Perbedaan” inilah yang dianggap sebagai merongrong kemapanan Orde Baru.
Simbol OT (organisasi terlarang), OTB (organisasi tanpa bentuk), GPK (gerakan pengacau keamanan), SARA (suku, agama, ras, dan adat-istiadat) juga dimaknakan secara tendensius. Setiap organisasi yang mendukung suara rakyat – sehingga sering berseberangan dengan kepentingan pemerintah dan penguasa – divonis sebagai OT, sebab dicitrakan sama dengan PKI, yaitu berbasis kerakyatan. Sementara itu, OTB dicitrakan sebagai ‘organisasi tidak resmi yang suka menggalang kegiatan rakyat’, GPK dicitrakan sebagai ‘gerakan yang suka menyerang pos-pos keamanan dan alat vital negara’, dan SARA dicitrakan sebagai ‘segala upaya yang bisa dipicukan dengan isu suku, agama, dan ras’ yang pada dasarnya hanyalah rekayasa penguasa.,
Simbol lain yang mengacu pada anti kemapanan adalah “mengganggu stabilitas nasional”. Simbol ini dimaknakan secara sempit dan hanya untuk kepentingan rezim Orde Baru, yaitu ‘kegiatan apa saja yang dinilai bisa mengarah pada penggoyangan kebijakan dan kelanggengan pemerintah’. Pemogokan para pekerja yang meminta kenaikan UMR, unjuk rasa mahasiswa yang menuntut penurunan SPP, dan demo para petani yang menuntut kenikan harga gabah dinilai ‘mengganggu stabilitas nasional’ dan oleh karena itu perlu ditindak secara tegas. Padahal, kegiatan tersebut semata-mata untuk menuntut hak mereka sebagai warga negara. Mereka merasa dirugikan kebijakan pemerintah yang selalu menguntungkan konglomerat dan penguasa.
Simbol-simbol yang mereprentasikan anti kemapanan tersebut pada era reformasi ini jarang bahkan tidak dipakai lagi. Kalau toh dipakai, misalnya, simbol subversi, benar-benar dimaknakan secara proporsional dan diterima oleh rakyat.
Simbol Keamanan
Simbol-simbol keamanan juga diciptakan oleh rezim Orde Baru. Simbol ini dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi rakyat, walaupun dalam praktiknya justru sering meresahkan. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara konsep dan kenyataan ini, pada era reformasi ini tidak dipakai lagi. Simbol diamankan yang dipraktikkan menjadi ’penahanan terhadap demonstran dengan penganiayaan’ jelas-jelas melanggar prinsip praduga tak bersalah. Simbol kewaspadaan nasional yang hanya diarahkan pada ‘kegiatan mewaspadai gerak-gerik seseorang yang kritis dan berpotensi untuk menggalang
Simbol Pengamalan Pancasila dan UUD 1945
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar Negara (Kesatuan) Republik
Dalam rangka mencari pembenaran, UUD 1945 pun tidak luput dari bidikan rezim Orde Baru. Dengan dalih kembali kepada UUD 1945, sesuai dengan amanat UUD 1945, kebijakan yang jelas-jelas merugikan rakyat bisa terselamatkan. Misalnya, sengketa tentang masa jabatan kepresiden dinyatakan oleh kroninya “kita kembalikan saja kepada UUD 1945”, konglomerasi dalam bidang ekonomi dan bisnis dinyatakan “sesuai dengan amanat UUD 1945”, Simbol-simbol pembenar ini pada era reformasi sudah tidak muncul lagi. Bahkan, yang tadinya dianggap “sakral”, saat ini cenderung “dibongkar” dan diredefinisi.[xiii]
Simbol Kesetiaan kepada Penguasa
Dalam rangka melanggengkan kekuasaannya, rezim Orde Baru juga menciptakan simbol kesetiaan. Istilah pengawasan melekat (Waskat), misalnya, yang tujuan utamanya adalah “mengadakan pengawasan kinerja bawahan”, diterapkan menjadi “menditeksi loyalitas bawahan”. Apabila ternyata bawahan tidak patuh bahkan “berseberangan” dengan kebijakan atasan, akan berakibat fatal. Selain bisa “dikotak” atau di-nonjob-kan, juga bisa diberhentikan atau dipensiun dini. Kejadian inilai yang membuat “kepatuhan terpaksa” bawahan kepada atasan di semua tingkat dan struktur kedinasan. Dari sini pula akhirnya timbul istilah loyalitas, sesuai dengan petunjuk atasan, sesuai dengan petunjuk presiden, dan Eka Prasetia Panca Karsa yang pada dasarnya mengacu pada makna “kesetiaan” kepada atasan.
Pada era reformasi ini, istilah-istilah yang mengarah pada simbol kesetiaan ini sudah tidak dipakai lagi, walaupun saat ini muncul istilah tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah, kurang koordinasi, tidak selektif.
Simbol-simbol yang Muncul
Simbol-simbol baru yang muncul pada era reformasi ini pada umumnya berasal dari idealisme rakyat, setelah sekian lama terbelenggu oleh kekuasaan. Karena dengan cara-cara tidak langsung – misalnya lewat sindiran, rumor, mimbar bebas, dsb. – tidak juga didengar oleh penguasa, rakyat melakukan tindakan langsung lewat tuntutan, tekanan, dan kontrol kepada penguasa. Dari sinilah akhirnya muncul simbol-simbol baru yang mendukung idealisme mereka, sebagaimana berikut ini.
Simbol Kebebasan
Kran kebebasan ini sudah lama didambakan oleh rakyat setelah lebih tiga dekade tersumbat – bahkan disumbat – oleh penguasa. Oleh karena itu, apa saja yang berbau kebebasan pasti akan mendapatkan dukungan rakyat, apakah datangnya dari rakyat sendiri atau dari pemerintah.
Dalam era reformasi ini fenomena yang merupakan simbol kebebasan adalah kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat. Kebebasan pers terlihat pada munculnya ratusan SIUP baru penerbitan
Simbol Keterbukaan
Simbol-simbol yang bernuansa ‘keterbukaan’ juga merebak pada era reformasi ini, terutama tuntutan keterbukaan bagi para penguasa. Pelaporan kekayaan pejabat merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Dengan cara ini akan diketahui secara terbuka oleh rakyat, pejabat publik mana yang “bersih” dan yang “tidak bersih” dari praktik-praktik yang merugikan rakyat.
Senada dengan itu, laporan pertanggungjawaban (LPJ) pejabat pun merupakan tuntutan yang harus dipenuhi para pejabat setiap akhir tahun atau akhir masa jabatan. Walaupun LPJ ini dipertanggungjawabkan dalam sidang terbuka di hadapan DPR/DPRD, rakyat pun ikut mengikuti dan memantaunya. Apabila terdapat laporan yang tidak sesuai dengan realitas kinerjanya, akan menjadi bumerang bagi pejabat yang bersangkutan. Selain akan mendapatkan komplain, juga akan mendapatkan “mosi tidak percaya” dari rakyat. Apabila terjadi hal yang demikian, kepercayaan rakyat pasti menurun bahkan mungkn hilang. Fenomena semacam ini, pada era Orde Baru tidak dijumpai. Kalau toh ada LPJ jabatan yang dibacakan di forum sidang legislatif, hanyalah formalitas semata dan penuh rekayasa.
Simbol Kerakyatan
Simbol lain yang muncul pada era reformasi ini adalah simbol yang bernuansa ‘kerakyatan’. Simbol yang pada umumnya dikiemas dalam bentuk action dan dan menyentuh kepentingan langsung grassroot ini mendapatkan dukungan rakyat secara penuh, walaupun sarat dengan kepentingan politis. Walaupun rakyat mengetahui tujuan terselubung ini, mereka tidak peduli. Yang penting, ada “dewa penolong” instan, dari mana pun datanganya.
Program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikemas dalam bentuk memberikan kredit lunak dengan sistem bergulir bagi rakyat miskin, padat karya yang disasarkan kepada tenaga kerja pengangguran dan yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK perusahaan akibat krisis moneter, dan sembako murah yang dikhususkan kepada keluarga miskin merupakan strategi yang sengaja diciptakan pengauasa untuk mendapatkan simpati rakyat. Begitu juga program bantuan musibah banjir, bantuan musibah tanah longsor, dan kredit usaha tani (KUT). Walaupun dalam praktiknya penuh penyimpangan, strategi ini berhasil menjadi “pelengah” rakyat kecil. Dengan “tetesan embun” tersebut, mereka tidak lagi memikirkan krisis makro yang sedang melanda negeri ini.
Simbol Keadilan
Simbol keadilan yang pada era Orde Baru sulit ditemukan, pada era reformasi ini bermunculan. Diangkatnya kembali pengadilan kasus KKN pejabat, kasus korupsi konglomerat, kasus Marsinah, kasus kematian Udin, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya merupakan fenomena yang mendapat dukungan rakyat karena mereka sangat mendambakan keadilan. Pemunculan fenomena yang pada umumnya atas desakan LSM dan tokoh masyarakat yang peduli keadilan ini sudah lama menjadi “gunjingan” rakyat dan dinantikan solusinya dengan segera.
Dalam praktiknya, “pengadilan ulang” tersebut memang belum membuahkan hasil yang maksimal karena banyak kendala yang ditemui di lapangan. Mulai dari kurangnya bukti pendukung sampai dengan aparat hukum sediri yang kurang transparan karena ada kepentingan-kepentingan tertentu. Walaupun demikian, upaya ini sudah cukup “membius” harapan rakyat.
Simbol kesetaraan
Simbol kesetaraan yang muncul pada era reformasi adalah isu gender dan tuntutan hak buruh. Kaum perempuan bersuara lantang menuntut kesamaan hak bersuara, hak bekerja, dan hak mendudukan jabatan dengan kaum laki-laki. Komposisi anggota DPR antara laki-laki dan perempuan minta dirasionalisasikan dan ditinjau kembali. Begitu juga peluang kerja dan jabatan pada semua bidang dan sektor.
Kaum buruh yang selama ini merasa diperlakukan semena-mena oleh majikan, menuntut eksistensi dan haknya. Mereka beranggapan bahwa antara majikan dan buruh saling membutuhkan. Majikan tidak mungkin bisa melaksanakan bisnisnya tanpa keterlibatan buruh. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, hak-hak buruh harus diperhatikan oleh majikan. Kaum buruh tidak mau dimarginalkan.
Fenomena-fenomena yang bernuansa ‘kesetaraan’ ini terus bermunculan di hampir setiap lapisan struktur komunitas kehidupan.
Simbol kekritisan
Fenomena yang bernuansa kritis terus bermunculan pada era reformasi ini, terutama muncul dari arus bawah. Penolakan kebijakan atasan oleh bawahan – karena dinilai tidak menguntungkan mereka – sering kita dengar. Sopir angkot menolak penambahan bus sekolah oleh Dinas Perhubungan karena dinilai akan mengurangi pendapatan mereka. PKL menolak pemindahan lokasi baru oleh pemerintah daerah karena tempat yang baru dinilai sepi pengunjung. Seorang kepala sekolah menolak dimutasi oleh Kepala Dinas karena kebijakannya dinilai sepihak dan tidak ada dasar.
Kritik terbuka oleh publik kepada penentu kebijakan juga sering muncul dalam bentuk selebaran dan
Fenomena sosial dalam bentuk penolakan, kririk, protes, dsb dari bawahan ini tentu menjadi perhatian tersendiri bagi atasan selaku pejabat publik. Ia akan lebih berhati-hati ketika menentukan kebijakan yang menyentuh kepentingan publik atau arus bawah.
Simbol Desentralisasi
Era reformasi yang mengedepankan kemandirian sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, muncullah simbol-simbol yang bernuansa desentralisasi. Pemunculan simbol ini juga dipicu oleh trauma yang cukup dalam ketika pola sentralistik diterapkan secara sempurna oleh rezim Orde Baru.
Istilah otonomi daerah yang telah menjadi keputusan legislatif ini “terpaksa” harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam berbagai bidang. Dalam bidang pemerintahan, pemerintah daerah diberi kekuasaan (dan juga keleluasaan) untuk mengatur rumah tangga sendiri, mulai dari penentuan APBD sampai dengan rekrutmen pegawai. Dalam bidang pendidikan, muncul otonomi kampus. Dengan otonomi kampus ini, perguruan tinggi negeri yang tadinya bergantung pemerintah, saat ini sudah mulai dilepas untuk “menghidupi“ rumah tangga sendiri.
Fenomena pemunculan pemda baru sebagai realisasi atas usulan putra daerah terus bergulir. Munculnya Pemkot Batu (yang dulunya bagian dari Kabupaten Malang) dan Provinsi Banten (yang dulunya bagian dari Provinsi Jawa Barat), misalnya, merupakan simbol desentralisasi yang muncul dari “suara” daerah. Yang menarik, isu “pemisahan diri” karena dipicu oleh keinginan mandiri ini diikuti dengan isu “penggabungan diri” karena dipicu oleh ketidakpuasan. Keinginan rakyat wilayah Kecamatan Pujon, Kasembon, Ngantang, dan Karangploso berpisah dari Kabupaten Malang dan ingin bergabung dengan Pemkot Batu karena dipicu oleh ketidakpuasan. Mereka menilai bahwa selama ini Kabupaten Malang kurang memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan mereka bila dibanding dengan wilayah lain. Dengan bergabung dengan pemda yang baru ini mereka mengharapkan bisa lebih tertangani kepentingannya dan tertolong kesejahteraannya.
Simbol Otoritas Lembaga Kerakyatan
Pada era reformasi ini lembaga-lembaga yang bernuansa “kerakyatan” bisa menunjukkan otoritas dan dedikasinya. Lembaga legislatif (DPR/DPRD) yang secara formal “ditugasi” menyuarakan aspirasi rakyat bisa membuktikan otoritasnya di hadapan lembaga eksekutif, yang pada era Orde Baru tidak bisa dilakukan. Usulan rancangan undang-undang oleh eksekutif sering “dibabat habis” karena hanya menguntungkan pemerintah secara sepihak. Keputusan dan kebijakan pemerintah yang tidak perpihak pada rakyat ditolaknya. Pendeknya, lembaga legislatif mempunyai kesempatan luas untuk menunjukkan otoritasnya di hadapan pemerintah dan memamerkan dedikasinya di mata rakyat. Bahkan, ketika dijumpai ada indikasi atau kasus penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, dan “perilaku menyimpang lainnya yang dilakukan oleh eksekutif – sehingga merugikan atau meresahkan publik –, lembaga legislatif berkewenangan mengusutnya lewat pembentukan pansus (panitia khusus). Muncullah Pansus Buloggate (untuk mengusut kasus Akbar Tanjung), Pansus Semutgate (untuk mengusut kasus kematian bayi di RSUD Jombang), dan pansus-pansus lainnya.
Lembaga kontrol independen juga bermunculan. Keberhasilan Corruption Watch (yang dimotori oleh Teten Maduki) ketika melacak KKN pejabat pada Era Orde Baru dan kroninya, memicu pemunculan lembaga sejenis dengan sasaran yang berbeda. Muncullan Legislative Watch dengan sasaran kontrol kinerja DPR/DPRD, Executive Watch dengan sasaran kontrol kinerja pemerintah, Education Watch dengan sasaran kontrol kinerja lembaga pendidikan, Metropolis Watch dengan sasaran kontrol kinerja pemerintahan Kota Surabaya, dan “watch-watch” lainnya.
Bersamaan dengan itu, lembaga yang dikemas dalam nuansa “kerakyatan” pun – yang biasa disebut LSM – bermunculan. Lembaga yang terkesan “memanfaatkan situasi” ini muncul secara instan sekedar merespons ketimpangan fenomena sosial. Di kalangan mahasiswa muncul Forkot, Fordem, Di kalangan cendekiawan muncul Lembaga Kajian Pedesaan, Lembaga Kajian Madani. Di kalangan petani, buruh, guru, dan kalangan lain juga “merapatkan barisan” yang dikemas dalam bentuk “paguyupan” ketika berhadapan dengan pihak penguasa dan pihak lain yang dinilai merugikan. Dengan munculnya LSM dari berbagai kalangan ini menyadarkan elite politik betapa publik sudah berani berterus terang mengaktualisasikian harapan dan tuntutannya.
Penutup
Kajian eksistensi simbol pada era reformasi ini masih pada taraf penjajagan awal karena sampai saat ini era reformasi masih terus bergulir. Oleh karena itu, temuan simbol yang lengser dan yang muncul pun masih bersifat “sementara”. Waktulah yang akan menentukan apakah simbol yang tadinya lengser akan muncul kembali. Atau, sebaliknya, simbol yang sekarang muncul akan lengser pada perjalanan akhir reformasi.
Yang jelas, kajian ini perlu ditindaklanjuti dari berbagai sisi. Latar belakang muncul dan lengsernya simbol, konteks apa yang melingkupinya, dan dampak apa yang ditimbulkan, perlu “dibongkar” (meminjam istilah Tommy F. Awuy) secara lebih intens. Hanya dengan cara demikian, analisis ini bisa menyadarkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunitas politik.
Pustaka Acuan
Alhumami, Amich. “Mitos-mitos Politik Orde Baru”. Dalam Parera, Frans M dan Koekerits, T. Jakob (Ed.). 1999. Masyarakat versus Negara. Jakarta: Kompas. Hlm. 10 – 15.
Awuy, Tommy F. “Membongkar Kooptasi Kekuasaan Tunggal”. Dalam Parera, Frans M dan Koekerits, T. Jakob (Ed.). 1999. Masyarakat versus Negara. Jakarta: Kompas. Hlm. 143 – 147.
Bosmaijan, Haig. 1989. The Language of Oppression. Washington, DC: Public Affairs Press.
Hartiningsih, Maria. “Diskusi Aktualisasi ‘The Third Way’: Ketika Rakyat Menjadi Musuh-musuh”. Dalam Parera, Frans M dan Koekerits, T. Jakob (Ed.). 1999. Masyarakat versus Negara. Jakarta: Kompas. Hlm. 148 – 151.
Langenberg, Michael. “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni”. Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim Idi Subandy (Ed.). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan. Hlm. 223 – 245.
Meszaros, Istvan. 1989. The Power of Ideology. New York: Harvester Wheaatsheaf,
Pustaka, Cipta Adi. 1991. Ensiklopedi Nasional, Jilid 15. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,
Smith, Craig Allen. 1990. Political Communication. New York: Harcourt Brace Javanovich.
[i]Bandingkan dengan uraian istilah “simbol” pada Ensiklopedi Nasional, Jilid 15 (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka), hlm. 49-50.
[iii]Lihat Craig Allen Smith, Political Communication (New York: Harcourt Brace Javanovich, 1990), hlm. 29
[iv] Perlu dicatat bahwa istilah “ideologi” dalam tulisan ini tidak ada kaitannya dengan ideologi yang ditetapkan dalam sistem politik oleh rezim tertentu.
[v]Dikatakan “dimaknakan” karena pada dasarnya symbols don’t mean, people mean.
[vi]Di sinilah hegemoni juga mulai dipermainkan oleh elite penguasa. Telaah kritis tentang bagaimana rezim Orde Baru menghegemoni rakyatnya bisa dibaca tulisan Michael van Langenberg, “Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, Hegemoni”. Dalam Latif, Yudi dan Ibrahim Idi Subandy (Ed.), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 223 – 245).
[vii]Bandingkan dengan Haig Bosmaijan yang menyatakan bahwa penguasa mendefinisikan segala hal dan hampir selalu mendefinisikannya untuk makin merugikan yang kurang berkuasa. Dalam The Language of Oppression (Washington, DC: Public Affairs Press, 1989), hlm. 5
[viii] Analisis yang cukup jeli ihwal kooptasi oleh rezim Orde Baru bisa dibaca tulisan Tommy F. Awuy, “Membongkar Kooptasi Kekuasaan Tunggal”. Dalam Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (Ed.), Masyarakat versus Negara (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 143 – 147.
[ix] Bandingkan dengan tulisan Amich Alhumami, “Mitos-mitos Politik Orde Baru”. Dalam Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (Ed.), Masyarakat versus Negara (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 10-15.
[x]Sebagaimana dikutip oleh Maria Hartiningsih, “Diskusi Aktualisasi ‘The Third Way’: Ketika Rakyat Menjadi Musuh-musuh”. Dalam Frans M. Parera dan T. Jakob Koekerits (Ed.), Masyarakat versus Negara (Jakarta: Kompas, 1999), hlm. 148-151.
[xi] Para era Orde Baru juga sempat diciptakan simbol yang bernuansa ‘pembangunan’ dan yang mengarah pada kultus individu, yaitu “Soeharto Bapak Pembangunan”.
[xii] Dikatakan “sepihak” karena yang boleh menjabarkan adalah tim bentukan pemerintah (dalam hal ini BP7 Pusat). Pihak lain di luar tim – apalagi rakyat biasa – t\idak bolrh menjabarkannya.
[xiii] UUD 1945 yang tadinya dianggap sakral dan tidak boleh diubah-ubah, saat ini (oleh MPR pimpinan Amien Rais) telah dilengkapi dengan pemunculan amndemen UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar