26 Agustus 2007

Njebles

NJEBLES1
Masnur Muslich

Sore itu, setelah shalat maghrib dan wirid secara berjamaah, aku melanjutkan-nya dengan membaca asmaul husna. Betapa kagetnya. Tiba-tiba lembaran yang kubaca ditampar keras-keras oleh Nono.
“Jangan baca itu! Jangan baca itu! La ilaha illalloh. La ilaha illalloh. La ilaha illal-loh.” Sambil mengayun-ayunkan sajadah di sampang kananku seolah pasang kuda-kuda kalau-kalau aku membalasnya.
Konsentrasiku terpecah. Aku terus membacanya dengan keras sambil menoleh ke arah Nono. Ia pun tambah garang.
“Jangan baca itu! Jangan baca itu,” yang diikuti dengan ucapan La ilaha illalloh lebih keras dari suara wiridku. Pembacaan aku hentikan. Aku mulai meladeni. Berdiri dan mendekat. “Jangan-jangan Nono ini tidak beres,” gumamku.
Matanya memerah dan terus melototi aku. Sajadahnya makin diayunkan ke arahku. Bibirnya terus menyebut La ilaha illalloh dengan irama bak hitungan tentara baris-berbaris.
“Enaknya, kuapakan anak ini?” Pikirku pintas.
Melihat insiden aneh itu, jamaah yang lain pada diam. Bergerombol. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Akan dikerasi juga repot. Penghuni kamar yang lain pun bengong sambil menghentikan main reminya.
Sambil membaca shalawat dalam hati, kupegangi tangannya erat-erat. Dia tidak berontak. Bahkan, sajadahnya digelar dan segera diduduki menghadap kiblat. Butir tasbih digerakkan satu satu sambil menangis sesenggukan.
Penghuni kamar mulai menurun atmosfir ketegangannya. Mereka saling berbisik. Merekonstruksi ketidakbiasaan Nono pada siang harinya. Tadi pagi dia membeli satu slop rokok Marlboro di kantin dan langsung dibagi-bagikan habis kepada teman-temannya di kemar lain. Siangnya, sebelum tutupan blok, dia mengeluar-kan semua isi korek jres, dan ditatanya seperti tangga. Sorenya, menjelang asar, dia mengeluarkan isi dua pak rokok Marlboro dan ditatanya seperti pagar. Seba-gian lagi dilumat-lumat sebelum dimasukkan gelas berisi air. Semua ketidak-biasaan ini hanya diamati diam-diam oleh sebagian besar penghuni kamar.
Pada tengah malam, semua penghuni kamar dikejutkan oleh olah dia lagi. Dia meronta-ronta seolah kesakitan.
“Aduh, sakit. Sakit!” Sambil membungkuk memegangi perutnya. Ditawari obat tidak mau. Dia malah ngomel-ngomel tidak karuan.
“Bunuh saja aku! Bunuh saja aku! Semua mengancaku. Aduh, sakit. Tolong, tolong, tolong!” Rontanya semakin keras.
“Siapa yang akan membunuhmu? Kamu diberi obat tidak mau. Apa maumu?” Sergahku keras, yang diamini penghuni kamar yang lain.
“Kalau kamu teriak-teriak terus, tak tempeleng nanti,” ancam seorang penghuni yang jengkel.
“Aku sakit betul,” sambil ke wc kamar, berpura-pura mencret, padahal yang ber-bunyi “cret, cret” hanya bibirnya.
“Dengarkan bunyinya! Saya mencret beneran. Aduh, aduh!” Tangkisnya sembari meronta terus.
Penghuni kamar mulai tak percaya pengakuan sakitnya setelah salah seorang penghuni mengecek di wc tidak melihat bekas “cret”-nya. Dia akan ke wc lagi dicegah oleh penghuni yang lain.
“Jangan ke wc! Berak saja di sini. Nanti, aku yang membersihkan,” tawarnya, sambil memegang tangan Nono.
“Tolong! Saya mau dibunuh! Tolong, Pak Petugas! Tolong! Aku mau dibunuh ketua kamar!” Rontanya sambil kakinya mendobrak-dobrak pintu dengan keras.
“Lepaskan tanganku! Aku akan menepon rumah,” pintanya berkali-kali dengan melas.
Akhirnya, tangan Nono aku diepaskan. Dia segera mengambil HP di tasnya. Langsung memijat nomor telepon orangtuanya.
“Halo! Siapa ini? Aku kepingin ngomong dengan Emakl,” ujarnya. “Ini Emak, ya! Aku wis gak kuat, Mak. Aku kepingin mati. Emak gak perlu susah. Sepurane yo Mak. Aku selama ini ngerepoti Emak terus. Wis yo, Mak. Assalamu alaikum,” HP langsung dimatikan.
Aku tidak bisa membayangkan. Betapa paniknya keluarganya setelah mendapat-kan telepon dari Nono.
Melihat gelagat yang membahayakan ini, semua penghuni kamar berjaga-jaga. Jangan sampai Nono bunuh diri. Sebab, bunuh diri di dalam kamar tahanan, se-mua kena dampaknya. Pasti digulung2 oleh petugas.
Tambah lama, tambah menjadi-jadi. Nono meronta terus. Ingin keluar dari kamar. Pintu kamar didobrak keras-keras. “Plak”, salah seorang menghadiahi bogem mentah. Ia tidak menggubrisnya, walaupun diresponsnya dengan kata “aduh”. Terus meronta ingin keluar dengan alasan semua penghuni kamar mau membunuhnya.
Aku berinisiatif. Aku hubungi petugas jaga lewat HP.
“Nono ngamuk, Pak,” laporku.
“Biar aja! Asal tidak membahayakan. Jaga! Semua penghuni kamar!” Jawabnya dengan santai.
“Dia terus meronta, Pak. Bengok-bengok. Sambil mendobrak pintu. Dikeluarkan saja, Pak,” pintaku karena semua penghuni kamar sudah tak sanggup menjaga-nya.
“Oke! Sebentar lagi.”
Beberapa saat, petugas peleton A datang. Sekitar delapan orang. Sebagian pe-tugas menginterogasi Nono. Sebagian lagi ngobrol denganku.
“Apa dia njebles,” tuduhnya.
“Kurang tahu, Pak.”
“Model seperti ini sering terjadi. Dia pasti baru pakai. Terlalu banyak. Masak ka-mu sebagai ketua kamar tidak tahu.”
“Tidak tahu, Pak.”
“Kemarin pagi dia lama di kamar sebelah. Apa yang dilakukan, saya tidak tahu, Pak. Di kamar itu kan banyak cs-nya pecandu narkoba. Mungkin saja dia diajak on,” ujarku.
“Pakai narkoba dalam situasi tertekan atau tidak happy akan terbawa saat on. Ya begini ini jadionya,” jelasnya.
“Dibawa ke RS saja, Pak. Toh dia minta keluar dari kamar ini,” pintaku.
“Ya. Buku pintunya! Dibawa saja ke RS. Dfi sana ada kamar khusus. Nanti kamu yang jaga,” perintah Danton kepada salah satu anak buahnya.
Nono dikelyarkan dari kamar. Barang-barangnya juga dibawa. Lega rasanya.
Suasana tegang berganti riuh. Masing-masing penghuni saling bercerita tentang keanehan Nono yang diketahuinya. Bahkan, ada yang menirukan olah Nono yang lucu akibat njebles. Ngobrol sampai menjelang subuh.

Malang, 20 Desember 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar